About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Al-Jarkh Wa Ta'dil Lengkap





Kemurnian Seorang Perowi Mempengaruhi Hadist
Murni Seorang Perowi




Oleh : Abid Nuhuda Mahasiswa FIT IAIN Surakarta





A.LATAR BELAKANG


                  Ilmu jarh wa ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.

         Apabila para tokoh kritikus rawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam
masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hapalan dan kekuatan ingatannya,
hingga untuk itu mereka tempuh rihklah yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi, yang pendusta, yang lemah
dan kacau hafalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacaulah urusan
Islam. Orang-orang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan bermunculan.

                Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil ini,kebanyakan muhadditsin menganggap bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil.Karena itu semua periwayatannya dapat diterima, dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wa
ta’dil ini adalah rawi-rawi selain sahabat.





B. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan ilmu jarh wa ta’dil ?

2. Apa yang menjadi objek kajian ilmu jarh wa ta’dil ?

3. Bagaimanakah lafadz-lafadz ilmu jarh wa ta’dil ?









BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN JARH WA TA’DIL
                  Jarh menurut bahasa berarti luka atau cacat. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits ialah menunjukkan atau membayangkan kelemahan, celaan atau cacat seorang rawi.
Lafadz jarh menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
                  Ta’dil menurut bahasa artinya meluruskan, membetulkan, membersihkan. Sedangkan menurut mushthalah hadits ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi.Rawi yang dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agamanya.
Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta’dil-kannya.
                 Untuk men-ta’dil seorang rawi, tidak mesti dari dua orang atau lebih. Boleh dari satu orang saja, asalkan ia ‘adil dan ‘arif. Dalam men-ta’dil tidak disyaratkan menyebut sebabnya, karena tentang sebab-sebab seseorang terpuji tidak ada perselisihan di antara manusia.Apabila seorang rawi dipuji oleh seseorang, tetapi juga ada yang mencacatnya atau menunjukkan celaannya, maka yang diambil adalah celaan orang itu, jika celaannya tersebut beralasan.
                 Para ulama mendefinisikan Ilmu Jarh Wa Ta’dil dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat mencacatkan atau mem-bersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.

B.OBJEK KAJIAN JARH WA TA’DIL
1. Pen-tajrih-an Rawi
                Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
(a). Bid’ah, yakni mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar syariat.
(b). Mukhalafah, yakni perlawanan sifat ‘adil dan dhabit seorang rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
(c). Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan.
(d). Jahalah al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
(e). Da’wa al-Inqitha’, yakni mendakwa terputusnya sanad.

2. Penetapan Kecacatan dan Keadilan Seorang Rawi
 (a). Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan:
        {1}. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.
Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.

         {2}. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.Demikian ketetapan yang dipegang oleh para muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
 (b). Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
         {1}. Seorang rawi yang adil.
Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk men-ta’dil-kan seorang rawi.
         {2}. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Baik laki-laki maupun perempuan dan orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.

3. Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
               Seorang ulama al-jarh wa al-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang men-jadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya ialah:
(a). Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur.
Jika seoarang ulama tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
(b). Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya.Agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
(c). Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.
Dengan pengetahuan terhadap penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab maka suatu lafadz  akan di tempatkan pada tempatnya,dan tidak akan men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh-nya.

4. Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan Bagi Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
(a). Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka.
Dalam melakukan tazkiyah dan jarh, yang terpenting orang tersebut hendaklah orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang merdeka atau hamba.
(b). Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya.
Kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya.

5. Sebab-sebab Timbulnya Jarh
Beberapa hal yang menyebabkan seseorang men-jarh seorang rawi di antaranya:
(a). Karena hawa nafsu atau suatu maksud tertentu
(b). Karena berlainan kepercayaan
(c). Karena berselisih antara ahli tashawuf dan ahli zhahir
(d). Karena pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu
(e). Samar-samar serta tidak ada wara’


C.LAFADZ-LAFADZ  ILMU JARH  WA TA’DIL

1. Tingkatan Lafadz Ilmu Jarh wa Ta’dil
               Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz
itu disusun menjadi 4 tingkatan.Menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5
tingkatan.Sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:

(a). Jarh
     {1}. Menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang se-jenisnya dengan itu. Misalnya:
~. Awdla’unnâsi (orang yang paling dusta)
~. Akdzabunnâsi (orang yang paling bohong)
     {2}. Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
~. Kadzâbun (orang yang pembohong)
~. Wa dlâ’un (orang yang pendusta)
~. Dajjâlun (orang yang penipu)
     {3}. Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, atau lainnya. Misalnya:
~. Fulânun muttahamun bilkadzibi (orang yang dituduh bohong)
~. Awmuttahimun bilwadl’i (orang yang dituduh dusta)
~. Fulânun fîhinnadhru (orang yang perlu diteliti)
     {4}. Menunjuk kepada bersangatan lemahnya. Misalnya:
~. Muthrahulhadîtsi (orang yang dilempar haditsnya)
~. Fulânun dla’îfun (orang yang lemah)
~. Fulânun mardǔdulhadîtsi (orang yang ditolak haditsnya)
     {5}. Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
~. Fulânun lâ yuhtajjubihi (orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya)
~. Fulânun majhǔlun (orang yang tidak dikenai identitasnya)
~. Fulânun wâ hin (orang yang banyak menduga-duga)
     {6}. Menyifati rawi dengan sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan
dengan adil. Misalnya:
~. Dlu’ifa hadîtsuhu (orang yang didla’ifkan haditsnya)
~. Fulânun maqâlun fîhi (orang yang diperbincangkan)
~. Fulânun layyinun (orang yang lunak)
~. Fulânun laysa bilhujjati (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)



(b). Ta’dil
      {1}. Segala hal yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian
yang sejenis. Misalnya:
~. Awtsaqunnâsi (orang yang paling tsiqah)
~. Atsbatunnâsi hifdzan wa’adâ latan (orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)
~. Ilayhil muntaha fî tsabti (orang yang paling mantap keteguhan hati dan lidahnya)
       {2}. Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yg menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
~. Tsabtun tsabtun (orang yang teguh [lagi] teguh)
~. Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqah [lagi] tsiqah)
~. Tsabtun tsiqatun (orang yang teguh [lagi] tsiqah)
~. Dlâbitun mutqinun (orang yang kuat ingatan [lagi] meyakinkan ilmunya)
      {3}. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
~. Tsabtun (orang yang teguh [hati dan lidahnya])
~. Mutqinun (orang yang meyakinkan [ilmunya])
~. Tsiqatun (orang yang tsiqah)
~. Hâfidzun (orang yang hafidz [kuat hafalannya])
      {4}. Menunjuk keadilan dan kedlabitannya, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti
kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
~. Shadǔqun (orang yang sangat jujur)
~. Ma’mǔnun (orang yang dapat memegang amanat)
~. Lâ ba’sabihi (orang yang tidak cacat)
      {5}. Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak dipahami adanya kedlabitan. Misalnya:
~. Mahalluhush shiduqu (orang yang berstatus jujur)
~. Jayyidul hadîtsi (orang yang baik haditsnya)
~. Hasanul hadîtsi (orang yang bagus haditsnya)
      {6}. Menunjuk arti mendekati cacat. Misalnya:
~. Shadǔqun insyâ Allah (orang yang jujur, insya Allah)
~. Fulânun arjǔ bian lâba’sabihi (orang yang diharapkan tsiqah)
~. Fulânun shuwaylihun (orang yang sedikit keshalehannya)


2. Penjelasan Beberapa Lafadz Jarh wa Ta’dil

(a). La Ba’sa bih atau Laisa Bihi Ba’sun
Ibnu Ma’in berkata, “Bila aku mengatakan Laisa bihi ba’sun, maka yang bersangkutan
adalah tsiqat.”
(b). Ila ash-Shidqi Ma Huwa
Rawi yang bersangkutan dekat kepada kejujuran dan tidak jauh.
(c). Muqarab al-Hadits atau Muqarib al-Hadits
Muqarab al-Hadits berarti bahwa hadits rawi yang lain mendekati haditsnya; dan Muqarib
al-Hadits bermakna bahwa haditsnya mendekati hadits rawi lain. Yakni bahwa haditsnya
tidak syadz dan tidak munkar.
(d). Ta’rif wa Tunkir atau Yu’raf wa Yunkar
Artinya adalah bahwa rawi ini kadang kala meriwayatkan hadits-hadits yang ma’ruf (diakui)
dan pada kesempatan lain ia meriwayatkan hadtis-hadits yang munkar. Jadi, hadits riwayatnya
perlu diperbandingkan dengan hadits riwayat para rawi tsiqat yang telah diakui.
(e). Munkar al-Hadits/ Yarwi al-Manakir dan Hadits Munkar
Makna ungkpn Munkar al-Hadits /Yarwi al-Manakir adlh bahwa hadits riwayatnya seringkali sendirian, tanpa dukungan hadits lain. Semntra ungkpn hadits munkar adalah istilah yg dipakai
oleh ulama muta’akhirin dengan maksud bahwa rawi munkar adalah rawi yang haditsnya dha’if
dan menyalahi hadits-hadits rawi yang tsiqat. Akan tetapi, ulama mutaqaddimin banyak sekali menyebut munkar trhdp suatu hadits semata-mata karena hadits itu tak ada dukungan, meskipun rawinya adalah tsiqat.

(f). Yasriqu al-Hadits
Artinya mencuri hadits. Maksudnya adalah seorang muhaddits meriwayatkan suatu hadits
secara sendiri, lalu datang rawi lain yang mencurinya dengan mengaku-aku bahwa ia juga
mendengar hadits tersebut dari guru yang sama; atau suatu hadits telah dikenal sebagai riwayat seorang rawi, lalu ada rawi lain mencurinya dengan menyandarkannya kepada rawi yang satu tsabaqah (tingkat) dengan rawi yang sebenarnya itu.
(g). Huwa ‘ala Yaday ‘Adlin
Al Hafizh al-Iraqi berkata bahwa lafadz ini termasuk ungkapan pentsiqatan. Akan tetapi
menurut penelitian al-Hafizh Ibnu Hajar lafadz yang terakhir ini termasuk lafadz yang amat
berat, sebagai kinayah (kiasan) dari sesuatu yang binasa.








                                                      ANALISIS TEMA

         Dalam makalah dan tema di atas msh banyak kekurangan-nya,namun dpt kita ambil sedikit pelajaran bahwa,apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil menjarhkan seorang rawi, maka kita tidak boleh segera menerima pentajrihan tersebut.Tetapi hendaklah diselediki lebih dulu jika pentajrihan itu membawa kegoncangan yang hebat, walaupun mentajrihkan hadits yang masyhur sekalipun tidak boleh kita terus menerima pentajrihannya sebelum kita adakan penelitian yang dapat dipakai untuk menolaknya.
                Tidaklah boleh kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang menjarhkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencela seseorang bukanlah soal yang mudah. Sering kali pencelaan yang dilemparkankan oleh seseorang, kita temukan hal-hal yang menolak celaannya itu.
Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.
                Mengingat keterbatasan di atas,jadi di harapkan kepada anda semua untuk lebih banyak membaca buku buku tentang jarkh wat ta’dil agar semakin menambah ilmu pengetahuan dan berwawasan luas.Kritik dan saran yg membangun juga sangat di harapkan dari anda semua agar kami bisa menjadi lebih baik lagi.








BAB III

PENUTUP



A. KESIMPULAN

   Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-
sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Ta’dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi
yang dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai
agamanya.

                 Ilmu Jarh Wa Ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi
yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya, dan berdasarkan pentajrihan dari
seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.

                 Sedangkan penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan
oleh seorang rawi yang adil atau setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.

#Syarat ulama al-jarh wa al-ta’dil di antaranya:
(a). Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur.
(b). Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan.
(c). Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.

#Sebab-sebab timbulnya jarh dapat disebabkan oleh:
(a). hawa nafsu atau suatu maksud tertentu.
(b). kepercayaan yang berlainan.
(c). perselisihan antara ahli tashawuf dan ahli zhahir.
(d). pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu.
(e). kesamar-samaran serta tidak adanya wara’.

                 Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz
itu disusun menjadi 4 tingkatan.Menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5
tingkatan.Sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.









DAFTAR PUSTAKA






‘Itr, Dr.Nuruddin,‘Ulum Al-Hadits 1, Bandung: Rosdakarya,1995.
Mudasir, Drs. H, Ilmu Hadis,Bandung: Pustaka Setia,2005.
Rahman, Drs Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits Cetakan Pertama, Bandung:
PT Al-Ma’arif,1974.
Soetari AD., Endang. Prof. Drs. H. M.Si, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah,
Bandung: Amal Bakti Press,2000.



Post a Comment

0 Comments