About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Pendidikan Anti Radikalisme

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang   
              Pendidikan mempunyai tujuan untuk memanusiakan manusia, yang dilakukan dengan cara cara yang lebih manusiawi sehingga terwujud tatanan saling menghormati, saling menghargai satu dengan lainnya. Idealisme yang dimiliki pendidikan termyata belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Apa yang dilakukan atau dipraktikkan oleh berbagai elemen internal pendidikan kadang kala masih menyimpang dari yang seharusnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk merasakan kedamaian, ketenangan, kebahagiaan bagi peserta didik berubah menjadi lokasi yang menakutkan, menegangkan, dan juga membosankan karena justru di sekolah atau lembaga pendidikan sering terjadi kekerasan dan intimadasi antara satu dengan lainnya sehingga dikenal dengan istilah radikalisme dalam pendidikan.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, didapatkan beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.    Apa pengertian radikal menurut islam?
2.    Bagaimana pendidikan tanpa kekerasan itu?
3.    Bagaimana pendidikan antiradikalisme itu?
4.    Seperti apa toleransi dalam pendidikan itu?


C.    Tujuan
Setelah mengetahui beberapa rumusan masalah, maka diharapkan bisa memahami tujuannya yaitu :
1.    Untuk mengetahui ma’na radikalisme.
2.    Untuk mengetahui gambaran tentang pendidikan tanpa kekerasan.
3.    Untuk mengetahui gambaran pendidikan anti radikalisme dan hal-hal yang terkait dengan nya.
4.    Untuk memahami urgen nya toleran dalam pendidikan


Pendidikan Anti Radikalisme




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Radikal dalam Islam
              Secara bahasa radikalisme berasal dari bahasa latin yaitu, radix yang berarti “akar”. Radikalisme merupakan suatu respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai. Sederhananya radikalisme adalah pemikiran atau sikap dengan ditandainya empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap ketidaktoleran dan tidak mau menghargai pendapat maupun keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan bahwa diri sendiri itu yang paling benar dan mudah menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Dalam arti lain, pandangan eksklusivisme adalah sesuatu yang dianut itu adalah benar. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan .
               Menurut Yusuf Qardhawi, radikalisme agama berasal dari kata al-tatharuf  yang berarti “berdiri di ujung, jauh dan pertengahan”. Bisa juga diartikan berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam ber-agama, berfikir dan berprilaku .  Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa faktor utama munculnya sikap radikal dalam beragama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam hanya dipahami secara dangkal .
               Dilihat dari sudut pandang keagamaan, radikalisme agama bisa diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi yang mendasar dalam fanatisme keagamaan, sehingga banyak orang yang menganut paham ini atau aliran ini menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham maupun aliran untuk memaksa kehendak dan pendapatnya. Istilah islam radikal atau radikalisme memiliki tiga kecenderungan, yaitu:
1)    Radikalisme merupakan respon terhadap suatu kondisi yang sedang berlangsung, baik berupa evaluasi, penolakan bahkan perlawanan.
2)    Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan yang lain.
3)    Kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran kepercayaan mereka atau idiologi yang mereka bawa menimbulkan munculnya sikap emosional yang mengarah pada kekerasan .

B.    Pendidikan Tanpa Kekerasan
             Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan yang terampil, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan . Namun tujuan pendidikan tersebut kini diwarnai dengan kekerasan demi kekerasan yang terjadi di sekolah ataupun kampus. Kekerasan yang terjadi baik oleh sesama teman, senior kepada juniornya, atau guru kepada muridnya, dalam bentuk tawuran, perkelahian, pemukulan, penganiayaan maupun tindak kekerasan lainnya yang ditampilkan oleh media, seolah mengabarkan kepada kita bahwa kekerasan merupakan budaya bangsa yang terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi berikutnya. Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif.
              Kekerasan dalam dunia pendidikan ini tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang wajar-wajar saja karena boleh jadi kita atau saudara-saudara kita menjadi pelaku atau bahkan korban dari perilaku tersebut. Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan harus dianggap sebagai persoalan serius dan mendesak agar segera diatasi dan dicari solusinya. Karena Anak didik tidak jauh berbeda dengan manusia biasa. Mereka akan membentuk pertahanan diri apabila diserang. Pertahanan itu berupa balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, atau lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas. Seni menghadapi anak didik sama seperti seni menghadapi anak-anak remaja pada umumnya. Mereka sebenarnya adalah makhluk yang lemah yang mudah diajak berunding. Mereka mudah percaya dengan orang lain, apalagi orang yang dianggapnya lebih dewasa dan pandai. Membuka hati anak untuk menerima pendapat orang dewasa, sebetulnya adalah seni menumbuhkan kepercayaan.
               Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk  : Pertama, kekerasan dalam bentuk spontanitas, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, seperti menempeleng atau meninju muka seseorang secara spontan akibat marah atau emosi yang tidak terkendali; dan kedua, kekerasan terkordinir atau terencana, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang di beri hak maupun tidak, seperti saat terjadi perang. Dan yang paling sering terjadi adalah kekerasan terhadap anak, bisa berupa luka fisik, mental, kekerasan seksual, penolakan dan perlakuan yang menyimpang kepada anak di bawah 18 tahun oleh orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak tersebut.  Sementara itu, menurut Suharto kekerasan kepada anak terbagi ke dalam empat bentuk, berikut penjelasannya :
1.)    Secara fisik, bisa memukul, menganiaya dan menyiksa baik dengan benda maupun tidak yang mengakibatkan lecet, memar dan luka bakar. Hal ini bisa timbul karena  anak rewel, nakal dan kelakukan lain yang tidak di sukai oleh orang tuanya.
2.)    Secara psikis, bisa menghardik, melontarkan kata-kata kotor, memperlihatkan photo atau video pornografi dan lain sebagainya.
3.)    Secara seksual bisa berupa pra kontak maupun secara langsung dan terang-terangan.
4.)    Secara sosial, bisa berupa penelantaran dan eksploitasi anak. Penelantaran seperti sikap orang tua yang tidak peduli dan tidak perhatian. Seperti di asingkan, atupun dikucilkan dari keluarga. Sedangkan eksploitasi adalah sikap memaksa dan berlaku sewenang wenang untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi. Seperti, mengamen di jalanan .
 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan
1.)     Dari Guru : Kurangnya pengetahuan, persepsi yang parsial, adanya masalah psikologis, adanya tekanan kerja, mengedepankan pola kepatuhan sebagai otoritar dan kurikulum yang mengebaikan kemampuan afektif.
2.)     Dari Siswa : Kecenderungan psikologis dan kepribadian, seperti perasaan dirinya lemah, tidak berguna dan sebagainya.
3.)     Dari Keluarga : Pola asuh, orang tua yang emosional, orang tua yang mengalami masalah psikologi dan keluarga disfungsi.
4.)     Dari Lingkungan : Adanya budaya kekerasan, mengalami sindrom Stockholm, tayangan tv dan sebagainya.
 Upaya-Upaya Pencegahan Terhadap Kekerasan dalam Pendidikan.
1)     Bersikap lemah lembut, meruju’ kepada al-quran surat ali imron ayat 159 yang artinya, “ maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah lembut kepada mereka”. Maka sikap lemah lembut di sini berarti mampu bertutur kata kepada orang lain tanpa menyakiti baik dengan perkataan, perbuatan, serta memberikan kemudahan dan ketentraman sehinggan pendidik dapat menaruh posisinya di tempat yang tepat. Bisa sebagai fasilitator, motivator dan pemacu kompetensi anak didiknya.
2)     Bersikap Pemaaf, Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan orang lain yang dinilai tidak wajar tanpa sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk balas dendam.
3)     Bermusyawarah, dengan memahami adanya perbedaan asumsi dari setiap idividu tanpa tanpa mengabaikan yang lain dalam sebuah permasalahan.
4)     Bertawakkal, menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah bukan berarti tanpa melakukan ikhtiar apapun, akan tetapi harus ada aksi nyata demi memperoleh apa yang diharapkan .

C.     Pendidikan Anti Radikalisme
           Rumusan pendidikan islam dan nasional mempunyai tujuan membina akhlak dan jiwa peserta didik, hal tersebut sesuai dengan visi kerosulan Nabi Muhammad dalam al quran surat al-qolam ayat empat, yang artinya “ Dan sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai akhlak yang agung “. Faktor kemuliaan akhlak inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan islam. Dengan akhlak mulia sikap anti radikalisme akan otomatis tertanam dalam diri peserta didik. Pendidikan merupakan sebuah solusi sosial yang mampu mengubah ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral ke arah kemuliaan akhlak, kekeringan spiritual ke arah kekuatan spiritual . Dengan demikian, pendidikan dapat dijadikan solusi atas persoalan bangsa ini, terutama tindakan radikal dan terorisme oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Memberikan pendidikan  kepada anak sejak dini dapat dijadikan upaya preventif terhadap tindakan radikalisme dan terorisme .
           Substansi pendidikan anti radikalisme telah ada dalam mata pelajaran agama islam maupun pada mata pelajaran lainnya. Setidaknya ada tiga hal penting :
1)    Melalui konsep jihad era modern, memaknai jihad secara benar sebagai islah bukan ifsad apalagi qital, karena itu merupakan kehendak Allah dalam Al-quran surat al-maidah ayat 32, yang artinya : “Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani isroil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…” ,menurut As-sa’di bahwa membunuh orang yang tak bersalah dilarang sehingga bisa dikatakan terror bom dan bom bunuh diri di wilayah tertentu adalah sebuah pelanggaran syariat.
2)    Konsep Multikultural, Indonesia dihuni oleh mayoritas beragama islam, namun perbedaan suku, etnis, bahasa, dan bahkan agama masih sering jadi alasan untuk melakukan terror bom. Dengan kata lain tidak menghargai kemajemukan yang ada di dunia ini dan melanggar sunnatulloh dalam al-quran suat alhujurot ayat 13 yang artinya “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku….”.
3)    Meneladani kasih sayang Rosululloh, yang mengajarkan umatnya untuk saling menyayangi sesama manusia dan diimplemantasikan dalam bentuk silaturohmi. Hal ini menolak pendapat yang mengatakan islam adalah agama perang yang menyebarkan agamanya dengan pedang. Pernyataan tersebut jelas keliru, seorang sejarawan terkemuka dalam bukunya Islam at The Cross Road mengatakan bagaimanapun juga bahwa legenda tentang orang-orang islam fanatik menyapu dunia dan memaksakan sampai menggunakan pedang atas bangsa yang ditaklukkan nya adalah mitos luar biasa fantastis yang pernah diulang-ulang sejarawan .
Langkah-langkah Pencegahan dan Sukses Pendidikan Anti Radikalisme di Indonesia.
             Gerakan teroris yang dimotori oleh kaum radikal tumbuh begitu pesat. Regenerasi teroris terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan di lingkungan terdekat kita telah dimasuki oleh kelompok radikal. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang semakin memburuk, maka perlu digalakkan nilai-nilai pembentuk karakter bangsa melalui keluarga, lingkungan, masyarakat dan pendidikan. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai andil yang cukup besar dalam proses penanaman karakter anak. Seringkali akibat tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya seorang anak dan juga remaja akan dengan mudah terjebak dalam paham radikal karena mencari perhatian dan aktualisasi dari luar. Oleh karena itu berikut hal-hal yang dapat di terpakan saat berada di lingkungan keluarga :
1)    Keluarga harus menanamkan agama yang benar dan bukan yang ekstrim.
2)    Keluarga harus mengajarkan kasih saying dan bukan kekerasan.
3)    Keluarga harus menanamkan nilai toleransi dan menghargai pendapat orang lain.
Selain pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan masyarakat itu juga penting, karena jika anak hidup dalam lingkungan dan masyarakat yang teroris tentu dia akan sering mendengar istilah jihad dalam arti pembunuhan. Oleh karena itu semua elemen masyarakat harus menciptakan lingkungan yang kondusif, Adapun penerapan nya sebagai berikut :
1)    Tokoh masyarakat sebagai penggerak keagamaan harus selektif dalam memberikan pemahaman tentang agama, jangan sampai memberikan pemahaman yang radikal sehingga mereka terjangkit radikalisme.
2)    Masyarakat harus mengajari nilai-nilai multicultural dan menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat.
3)    Menghindari segala konflik suku, etnis, agama dan juga ras, dan lebih menggalakkan kerukunan antar masyarakat sehingga tercipta kedamaian dan keamananan.
Aplikasi pendidikan anti radikalisme di sekolah dapat di implementasikan, dengan beberapa cara:
1)    Mengenalkan nilai-nilai anti radikalisme dalam mata pelajaran di sekolah.
2)    Penerapan nilai-nilai tersebut di lingkungan sekolah, seperti menjaga kerukunan.
3)    Guru konselor memberikan terapi kepada peserta didik yang terjangkit paham radikal.
Penanaman nilai-nilai moral dalam pendidikan anti radikalisme tersebut hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif saja, melainkan juga terhadap afektif dan psikomotorik. Manusia adalah makhluk yang memiliki unsur akal, jiwa dan ruh. Pembinaan akal akan menghasilkan ilmu dan pengetahuan, lalu pembinaan jiwa menghasilkan tingkah laku, budi pekerti dan akhlak, sedangkan pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan 3 unsur di atas, peserta didik akan mendapat ilmu yang bermanfaat, keterampilan yang mumpuni, tingkah laku, emosional dan ber akhlakl karimah .

D.    Toleransi dalam Pendidikan
            Menurut Ahmadi dan Uhbiyati, Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari bahasa yunani, yaitu Paedagogie, yang terdiri dari pais yang berarti anak dan again yang berarti membimbing. Jadi secara utuh diartikan bimbingan yang diberikan kepada anak.
            Sedangkan toleransi menurut Syarbini dkk, merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-maslahah al- amah), dan keadilan. Menjadi toleran adalah membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal usul dan latar belakang mereka. Toleransi juga dapat bernakna penerima kebebasan beragama dan perlindungan undang-undang bagi hak asasi manusia dan warga Negara .
            Salah satu dimensi dari tujuan Pendidikan Islam adalah perbedaan individu, walaupun ada persamaannya tetapi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa manusia sebagai individu secara fitrah memiliki perbedaan. Serta kemampuan yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda. Maka, tujuan pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi anak didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan individu serta menyesuaikan pengembangannya dengan kadar kemampuan yang dimiliki masing-masing individu. Perbedaan individu inilah yang memunculkan sikap toleransi.
            Dengan demikian, seseorang dapat menghargai perbedaan dan mampu bekerja sama dengan orang lain yang berbeda karakter, sikap, aliran, suku, agama, dan lain-lain. Jadi toleransi dalam Pendidikan Islam adalah bagaimana seorang guru mampu berperan diantara para siswa yang berbeda dan mengakomodasikannya sehingga diantara para siswa tersebut mampu saling menghargai, menghormati, toleran dan mampu bekerjasama.
Nilai-nilai pendidikan toleransi
             Nilai-nilai pendidikan adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dan dikembangkan pada diri seseorang. Menurut Mardiatmaja nilai-nilai pendidikan sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
             Definisi tersebut dapat ditarik suatu definisi nilai-nilai pendidikan toleransi mencangkup keseluruhan aspek pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar memiliki modal nilai yang menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupannya . Dengan demikian, mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan, kebersamaan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Penekanannya terletak pada peran pendidikan sebagai transformasi nilai sehingga menjadi bagian yang integral dalam diri peserta didik. Dengan memiliki nilai moral, maka segala tindakan peserta didik akan terkontrol karena dilakukan dengan pertimbangan nilai yang matang.
Adapun Nilai-nilai pendidikan toleran yang perlu dikembangkan adalah :
1)    Belajar dalam perbedaan
           Pendidikan yang menompang proses dan produk pendidikan nasional hanya bersandar pada tiga pilar utama yang menompang proses dan produk pendidikan nasional, yaitu how to know, how to do, dan how to be.
           Toleran adalah kesiapan dan kemampuan batin bersama orang lain yang berbeda secara hakiki, meskipun terhadap konflik dengan pemahaman kita. Pendidikan agama islam dengan menekankan nilai-nilai toleransi dirancang, di desain untuk menanamkan nilai-nilai sebagai berikut:
a.    Sikap toleransi dari tahap yang minimalis, dari yang sekadar dekoratif hingga yang solid.
b.    Klasifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama -agama.
c.    Pendewasaan emosional.
d.    Kesetaraan dan partisipan.
e.    Kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antaragama.
2)    Membangun saling percaya.
            Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial terpenting dalam penguatan masyarakat
3)    Memelihara saling pengertian
            Memahami bukan serta merta menyetujui. Saling memahami adalah kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita adalah berbeda, dan mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan hidup. Agama mempunyai tanggung jawab membangun landasan etnis untuk bisa saling memahami  diantara entitas-entitas agama dan budaya yang plural- multikultural.
4)    Menjunjung tinggi sikap saling menghargai.
            Pendidikan agama islam didesain proses pembelajaran semacam ini, diharapkan akan tercipta sebuah proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran pluralis dikalangan anak didik. Jika desain semacam ini dapat terimplementasi dengan baik, harapan terciptanya kehidupan yang damai, penuh toleransi, dan tanpa konflik lebih cepat akan lebih terwujud. Sebab pendidikan merupakan media dengan kerangka yang paling sistematis, paling luas penyebarannya, dan paling efektif kerangka implementasinya




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
             Radikalisme merupakan suatu respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai. Sedangkan kekerasan dalam pendidikan pada dasarnya terjadi karena dua bentuk, yaitu karena spontanitas dan karena di rencanakan. Upaya-upaya untuk mencegahnya adalah dengan bersikap lemah lembut, pemaaf, bermusyawarah dan bertawakkal. Sedangkan upaya pencegahan radikalisme bisa dilakukan oleh keluarga, lingkungan dan juga sekolah. Arti toleransi dalam Pendidikan Islam adalah bagaimana seorang guru mampu berperan diantara para siswa yang berbeda dan mengakomodasikannya sehingga diantara para siswa tersebut mampu saling menghargai, menghormati, toleran dan mampu bekerjasama. Pendidikan toleransi mencangkup keseluruhan aspek pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar memiliki modal nilai yang menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupannya Nilai toleransi dalam pendidikan diantaranya, belajar dalam perbedaan, membangun saling percaya, memelihara saling pengertian dan menjunjung tinggi sikap saling menghargai.
1.    Sikap toleransi dari tahap yang minimalis
2.    Klasifikasi nilai-nilai kehidupan bersama
3.    Pendewasaan emosional.
4.    Kesetaraan dan partisipan
5.    Kontrak sosial baru

B.    Saran
             Hendaknya para pembaca lebih banyak lagi membaca buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan anti radikalisme diatas supaya makin faham dan jelas, mengingat keterbatasan dan terlalu ringkasnya pemakalah dalam menyajikan. Kritik dan saran sangat diharapkan agar kedepannya kami semakin membaik dan semangat lagi.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Naik,Dazakir.2013. Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo : PT Aqwam Media Profetika
Ahmad Said, Hasan dan Fathurrahman Rauf. 2013. Radikalisme Agama Dalam Perspektif Hukum Islam. Al-‘adalah. 2 (3) : 596

Alhairi. 2007. Ihtiar Memangkas Gerakan Radikal. Jurnal Tarbawi. 14 (2) : 116
Chan, M Sam  dan T Sam Tuti. 2005. Kebijakan Pendidkan Era Otonomi Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Fadhli, Feri. 2008. Anak Indonesia di Simpang Jalan. Jakarta : Nirmana Media
Hafidz, Nadzlifah. 2007. Menjaga Kilauan Permata Hati. Jakarta : Nirmana Media
Illahi, Muhammad Takdir. 2012. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral. Yogyakarta : Ar-ruz Media
Jauhari, M Insan. 2016. Pendidikan Anti Kekerasan Dalam Perspektif Al-quran. Jurnal Pendidikan Agama Islam. 8 ( 2 ) : 172
Khalil, Munawwar. 2010.  Akhlak dan Pembelajarannya. Yogyakarta : FITK UIN Sunan Kalijaga

Khoiriyah. 2013. metodologi studi islam. Surakarta : Fataba Press

Mawarti, Srie. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Toleransi Dalam Pembelajaran Agama Islam. Komunikasi Umat Beragama. 9 ( 1 ) : 76

Rodin,Dede. 2016. Islam Dan Radikalisme. Addin. 10 ( 1 ) : 34

Wahid, M. Abduh. 2018. Fundamentalisme Dan Radikalisme Islam. Sulesana. 12 (1) : 64



Post a Comment

0 Comments