About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Makalah Meunasah Terlengkap






Meunasah menurut Snouck Hurgronje identik dengan “langgar, baleë (balai) atau tajug” . sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab yang berarti madrasah.
Meunasah






PEMBAHASAN

A. Pengertian Meunasah
Meunasah menurut Snouck Hurgronje identik dengan “langgar, baleë (balai) atau tajug” . sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab yang berarti madrasah.  Tetapi menurut Badruzzaman Ismail dan para ahli Aceh sebelumnya dikatakan bahwa kata “meunasah, meulasah atau beulasah berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) yang mengandung arti lembaga pendidikan” . Meunasah becomes the center of education civilization for Acehnese. In meunasah, the children get the basic education. Every village in Aceh has a meunasah that is built for a center of culture and a center of education. Center of culture, meunasah plays an important character in the cultural life of the Acehnese. Menasha for Center of education is that children are first learning education at the Islamic Aceh Education institution. The Acehnese education is massive grew in the area of Islamic education .
Menurut pemahaman Taufik Abdullah meunasah dalam arti terminologis adalah “tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai (diampu) teungku meunasah” . Pada pengertian lain, meunasah merupakan tempat penggemblengan masyarakat gampong atau desa, agar masyarakat desa tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh T. Syamsuddin bahwa meunasah adalah “tempat yang dibangun sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena meunasah merupakan suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh”.  Pendapat tersebut mempunyai alasan fundamental karena meunasah mempunyai multi fungsi, di samping sebagai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, ternyata juga aspek keagamaan . Based on some definition above, it is obviously believed that meunasah somehow can become the central for the development of Acehnese in the future; to create a potential and smart intellectually and professionally generation who strongly hold the great traditional values of the Aceh. And furthermore, as mentioned earlier that all society has equal right to speak and play role at meunasah, the meunasah in turn becomes the symbol of democracy within the Acehnese society where the commons do social and cultural control over political and religious systems .
Terlepas dari pemahaman yang sempit dan luasnya pengertian meunasah, bergantung pada back-ground dan konteks di mana suatu pengamat membahas meunasah. “Meunasah adalah lembaga tradisional Aceh, yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh di manapun masyarakat Aceh itu tinggal, karena di mana ada orang Aceh disitu ditemukan meunasah”. Jadi Meunasah, ada yang menyebut “meulasah, beunasah, beulasah,” seperti dikenal oleh kelompok etnis Aceh . Meunasah merupakan istilah yang asli dari Aceh dan telah lama dikenal di Aceh, tetapi sejak kapan ditemukan belum begitu jelas secara historis. Menurut beberapa ahli pengamat Aceh berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) , kemudian menjadi meunasah karena masalah dialek orang Aceh yang sulit menyatakan madrasah. Seperti juga kata dayah yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu zawiyah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nama meunasah hanya ada di Aceh. Sementara itu meunasah di daerah lain identik dengan nama musalla. Meunasah dulunya sering dijadikan tempat pembelajaran ilmu keagamaan bagi masyarakat gampong dan juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan Gampong.

B. Sejarah Meunasah
Berdasarkan penelitian ditemukan bukti bahwa meunasah sudah ada sejak terbentuknya masyarakat Islam di Aceh. “Perkembangan meunasah menjadi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui pada masa Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636” . Munculnya meunasah sebagai lembaga pendidikan berhubungan dengan transfer sistem pendidikan dari Madrasah Nizamiyah ke Aceh Darussalam yang dipadukan dengan sistem pemerintahan sehingga dapat ditemukan hubungan erat antara adat dan agama. Muhammad Ibrahim dalam penelitiannya mengatakan ada dua asumsi tentang kapan munculnya meunasah di Aceh, yaitu: “Pertama, meunasah itu sudah ada sejak terbentuknya masyarakat gampông (desa) Islam. Kedua, lembaga serupa meunasah sudah dikenal oleh masyarakat Aceh jauh sebelum datangnya Islam, namun nama aslinya sampai sekarang belum diketahui” . Dan pendapat kedua ini senada dengan asumsi Snouck Hurgronje  bahwa “meunasah sudah amat tua, lebih tua dari nama “meunasah” itu sendiri”.
Keberadaan meunasah di Aceh sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual-beli, terutama barang-barang yang tidak bergerak. Peserta didik yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang di bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan agama diberikan di rumah guru . Memang, ditinjau dari segi namanya “meunasah” yang berasal dari bahasa Arab yaitu madrasah, sebagai lembaga keagamaan dikenal pada waktu terbentuknya masyarakat Islam di Aceh. Namun lembaga serupa meunasah mungkin saja telah ada sejak sebelum terbentuknya masyarakat Islam walaupun namanya tidak diketahui. Asumsi ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh  Abudin Nata dalam seminarnya bahwa “kebutuhan terhadap lembaga pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia”.
Di Jawa misalnya, menurut Abidin Nata bahwa “umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu/Budha menjadi pesantren”. Umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat menjadi lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan teori ini dapat diargumentasikan bahwa mungkin saja masyarakat Islam di Aceh yang baru terbentuk saat itu mentransfer lembaga keagamaan sebelumnya (Hindu-Budha) menjadi meunasah . Berkaitan dengan pusat pendidikan Islam di Aceh, Abdul Wahid mengatakan bahwa nuansa pendidikannya memiliki karateristik berbeda dari pada daerah lain. Setidaknya karena dua hal, Pertama Memiliki landasan syariat Islam karena telah menetapkan pemberlakuan syariat Islam, dan Yang Kedua landasan ke-Aceh-an, karena aceh memiliki hak yang lebih khusus dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan kedua hal ini menjadikan Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus .

C. Sistem Pendidikan
Sistem dan organisasi pendidikan di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan program pemerintahan yang secara terstruktur mengurusi pendidikan. Berdasarkan tingkatan dan jenjang pendidikan di Aceh, diketahui bahwa lembaga-lembaga pendidikan “Meunasah merupakan tingkat dasar, Rangkang merupakan tingkat menengah pertama, Dayah merupakan tingkat menengah atas, dan Dayah Teungku Chik merupakan tingkat diploma dan Jami’ah Bait al-Rahman merupakan jenjang pendidikan tingkat universitas” . Menurut Abdurrahman A. Gani lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran, yaitu:
1. Kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-Qur'an dan pengetahuan dasar agama;
2. Sistem pembelajarannya dengan sistem halaqah dan sorogan, metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah;
3. Hubungan antara teungku dan murib/aneuk miet beut (anak didik) bersifat kekeluargaan, yang terus kontinuitas sampai murib menginjak dewasa;
4. Teungku dipilih oleh masyarakat gampong yang dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7 tahun;
5. Di meunasah juga diajarkan kesenian (sya’ir) yang bernafaskan Islam seperti qasidah, solawat dan dalail khairat
Siswono mentioned that first all activities were carried out in meunasah : prayers, discussions, meureunoe-learning, to arts was held in meunasah. Meunasah has many functions for the gampong community and the fact places meunasah as the center of Acehnese people civilization. Soewarno; Kurdi explained that partner relationship between elite customary and religion elite in managing territorial units in Aceh is called as gampong (village). According to Kurdi, teungku meunasah is an officer taking care of everything related to religious matter in a village, while keuchik is an officer representing customs taking care of the customary law enforcement in carrying out government.  Meunasah is positioned like a university containing community reconstruction process progressing continuously. Meunasah is the arena for earning, routines, making the study or teaching, teaching children to read the Koran and aqidah, and discussion .
A.Hasjmy menuturkan bahwa “lembaga pendidikan ini merupakan tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Sementara pada masa Kerajaan Samudera Pasai, pengajaran agama Islam diadakan di mesjid kerajaan yaitu berbentuk halaqah atau zawiyah atau dinamakan dengan system lingkaran”. Pengajaran ini sangat diminati oleh masyarakat, bahkan Malik al- Shaleh, Raja Pasai, senang mengikuti pertemuan ini yang diadakan setiap sehabis shalat Jum’at.  Begitu diminatinya, halaqah ini bukan lagi didatangi oleh orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak. Dari sini timbullah kebutuhan untuk memberikan pendidikan khusus bagi anak-anak dan lahirlah institusi pendidikan Islam di Aceh. Dengan lahirnya institusi pendidikan Islam tersebut, semenjak berabad-abad yang lampau, yaitu setelah berdiri kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudra-Pasai yang dilanjutkan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, maka Aceh pada saat itu sudah tidak mengenal lagi buta huruf, seperti yang diakui oleh orang Perancis, Beaulieu, yang pernah berkunjung ke Aceh abad ke-17 . Dari berbagai informasi yang penulis dapatkan, sebuah lokasi pemukiman akan dianggap atau dapat ditetapkan sebagai gampong kalau di tempat itu sudah ada sawah. Sedang jumlah penduduk atau rumah di lokasi tersebut tidaklah terlalu penting. Adapun lokasi yang hanya mempunyai areal untuk perkebunan atau perladangan tidak dapat menjadi gampong, tetapi akan menjadi bagian dari gampong induk. Setiap gampong harus mempunyai sebuah bangunan yang diberi nama meunasah, yang luas atau besarnya disesuaikan dengan keadaan penduduk .

D. Materi dan Fungsi
Ibrahim Husein membaginya menjadi dua kelompok, yaitu “meunasah untuk tingkat rendah dan dayah untuk tingkat menengah dan tinggi”[21]. Menurutnya lembaga rangkang termasuk ke dalam pendidikan dayah.  Namun dalam pembahasan ini penulis memfokuskan pembahasannya yaitu pada tingkat meunasah. The first level of Meunasah studies kitab Bidayah, kitab Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, and Majmu syarif. Students who are excellent in kitab will be called Jawo Malem. Santri who is second level of meunasah learns ilmu nahwu and calls Malem Nahwu. Hand book curriculum uses for teaching began with kitab Aljurumiyah, Mukhtasar, Muthmainnah, and Alfiyah. Santri who is Third level learns Ilmu fiqh. Kitab uses for study that is Safinatun Naja, Matan Taqrib, Fathur Qarib, Fathul Muin, Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, and Nihayah. Santri who is fourth level learns the interpretation exegesis of Qur'an and al-Hadith .
Dari uraian di atas tampak bahwa meunasah dalam sejarah telah memainkan peran penting dalam proses pencerdasan bangsa. Meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya, yaitu pendidikan yang berintikan agama Islam di lembaga ini. Di antara fungsi meunasah adalah sebagai berikut: Pertama, Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu. Kedua, Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Alquran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian pada hari Jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat berjama’ah zhuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan .

E. Desain Bangunan Meunasah
Meunasah secara fisik menurut Sulaiman Tripa adalah “bangunan rumah panggung,  yang dibangun pada tiap gampông (desa) yang disekelilingnya dibangun sumur, bak air, dan tempat keperluan buang air”. Umumnya meunasah dibangun atau berlokasi di pinggir jalan. Bangunan yang letaknya (biasanya) di tengah-tengah kampung atau lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Bentuknya seperti rumah tradisional Aceh dengan beratap daun rumbia dan dindingnya dibangun terbuka. Di bagian depan meunasah kadang-kadang dilengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah. Di beranda inilah terjadi suatu proses sosial dalam masyarakat, seperti terjadi komunikasi antar warga masyarakat. Pada tempat beranda inilah, meunasah memiliki fungsi terbuka, karena selalu ada orang yang singgah dan duduk berlama-lama dan menjadikan meunasah sebagai pusat komunikasi sosial yang efektif yang bersifat informal dalam masyarakat Aceh .
Membangun meunasah berbeda dengan cara mendirikan rumah, berikut perbedaannya  : Pertama, proses pendiriannya, menurut masyarakat Aceh harus melalui tahap-tahap mengumpulkan bahan-bahan baik dari kayu, bambu, daun rumbia (ôen meuria), pelepah rumbia, dan bahan-bahan lainnya. Setelah bahan-bahan terkumpul dan siap didirikan masyarakat gampông mengadakan kenduri berdo’a kepada Allah agar bangunan ini dapat digunakan untuk peribadatan kepada Allah. Untuk menyempurnakan pendirian, maka segala bentuk upaya agar bangunan yang didirikan dapat tersinari cahaya Ilahi, maka bangunan (meunasah) dihiasi dengan berbagai macam kaligrafi, yang di dalamnya terdapat ajakan dan dakwah Islamiyah, juga petuah-petuah edukatif, agar siapa saja yang masuk ke dalamnya mendapatkan hikmah.
Kedua, aspek pengelolaannya. Pembangunan meunasah akan memiliki nilai universal dan edukatif bagi masyarakat gampông di Aceh bergantung pada Teungku Meunasah-nya. Maka pengelola meunasah dalam hal ini Teungku Meunasah adalah orang yang harus memiliki kemampuan dan memahami masalah - masalah agama, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem atau orang yang ahli/mahir ilmu agama.  Ketiga, berfungsinya meunasah secara maksimal di semua aspek kehidupan.Untuk mencapai hal itu maka sebagaimana pandangan hidup orang Aceh perlu adanya kesatuan zat dan sifat antara, pe mangku adat, kepala gampông (Keuchik) dengan pemangku agama (Teungku) dalam mengembangkan fungsi dan semangat meunasah dalam segala aspek kehidupan masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve
Ahmad, Zakaria. 1972.  Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675. Medan:
 Monora
Budi. 2018. Lembaga Pendidikan Islam Klasik di Nusantara. HIJRI. 7 (2) : 38-53
Hasjmy, A. 1980. Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan
Kebudayaan. Jakarta: Bhratara Aksara
Hurgronje, C Snouck. 1996. Aceh Rakyat dan Adat Istiadat, terjemahan Ismail
 Suny, (ed.). Jakarta: Bhratara Aksara
Ibrahim, Muhammad dkk. 1981. Sejarah Pendidikan Daerah Propinsi Daerah
 Istimewa Aceh. Banda Aceh: DepDikBud
Ibrahim, Muhsinah. 2014. Dayah, Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga
Pendidikan Dan Lembaga  Dakwah  Di Aceh. Jurnal Al-Bayan. 21 (30) :
21-34
Ismail, Badruzzaman. 2002. Mesjid Dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi
Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Gua Hira
M. Z.A, Sadli. 2001. Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah
 dan Rangkang. Jakarta: Grasindo
Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
 Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo
Rizal, Muhammad and Muhammad Ikbal. 2018. Dayah and Meunasah: Abu Teupin
Raya is the Reformer of Islamic Education in Aceh. Jurnal Pendidikan Islam. 7 (1) : 185-206
Solichin, Mujianto. 2015. Perkembangan Pendidikan Dayah dan Meunasah di
Aceh, DIRASAT. 1 (1) : 125-151
Syamsuddin, T. 1993. Peranan Meunasah Sebagai Pusat Pendidikan dalam
Masyarakat Aceh. Banda Aceh: LAKA
Wahid, Umaimah. 2015. Meunasah, Power And Self-Critics Towards Government
And Aceh Political Elite On Aceh Women Political Struggle. Journal Of
Asian Scientific Research. 5 (8) : 385-393
Wahid, Umaimah. 2013. The Function Of Meunasah In Social Cultural
Communication Process Within Acehness Society. Journal Of Capital
Development. 6 (1) : 151-167

Post a Comment

0 Comments