About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Makalah Maqomat dan Ahwal







Makalah Maqomat dan Ahwal dalam Akhlak Tasawuf
Kedudukan dan Keadaan









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu cabang dari ilmu-ilmu islam utma, yaitu ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf. Tasawuf membahas soal-soal yang bertalian dengan hati, yakni bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin, serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Ketika kita berbicara tasawuf maka tidak terlepas dari maqomat dan ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun tasawuf. Maqomat dan ahwal merupakan dua hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalanai tasawuf sebelum sampai pada tujuan yang dikehendaki. Yang pertama berupa tingkatan atau tahapan perjalanan dan yang kedua berupa keadaan atau kondisi. Perlu diketahui bahwa Maqomat dan Ahwal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Maqomat merupakan tahapan perjalanan untuk menuju Tuhan dan dalam maqomat akan ditemukan kehadiran ahwal. Maqomat dan ahwal penting untuk dipelajari karena keduanya dapat dikatakan sebagai rukun dalam ilmu tasawuf dan ilmu tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu islam utama. Untuk itu, penulis mencoba memaparkan materi tentang maqomat dan ahwal.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian Maqomat dan Macam-macam Maqomat?
2.    Apa Pengertian Ahwal dan Macam-macam Ahwal?
3.    Apa Perbedaan antara Maqomat dan Ahwal?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk Mengetahui Pengertian Maqomat dan Macam-macam Maqomat.
2.    Untuk Mengetahui Pengertian Ahwal dan Macam-macam Ahwal.
3.    Untuk Mengetahui Perbedaan antara Maqomat dan Ahwal.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maqomat dan Macam-macam Maqomat
1.    Pengertian Maqomat
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam. Secara etimologis, maqam berarti tempat berdiri, stasiun, lokasi, posisi, atau level. Adapun secara terminologi, maqam menyiratkan posisi spiritual. Dalam dunia tasawuf, setiap sufi mengambil urutan maqam yang berbeda, tetapi substansinya tetap sama.
Menurut al-Qusyairi, maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Sedangkan al-Sarraj berpendapat bahwa maqam yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah. al-Hujwiri menyatakan bahwa maqam adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya.
Wacana tentang maqam sebagai kedudukan spiritual menjadi pembahasan yang cukup intensif dalam kajian para guru dan sufi era klasik hingga era kontemporer .  Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah SWT.
2.    Macam-macam Maqomat
Para sufi berbeda pandangan mengenai macam maqomat. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution mengatakan bahwa maqomat itu jumlahnya ada sepuluh, yakni al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma’rifah. Sedangkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqomat itu ada delapan, yakni at-taubah, al-shabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifat, dan al-ridha.  Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitabnya al-Luma menyebutkan bahwa ada tujuh maqam yang harus ditempuh untuk bisa dekat dengan Allah, tujuh maqam itu adalah attaubah, al-Wara’, az-Zuhd, al-Faqr, as-Sabr, at-Tawakal, dan ar-Ridha.  Menurut al-Qusyairi tingkatan maqomat ada tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar, dan rida.
Dari pendapat-pendapat tersebut, adapun maqomat yang mereka sepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridha. 
a.    Al-taubah
Secara etimologis, taubah artinya kembali, menyesal atas perbuatan dosa, atau bertaubat. Taubat adalah kembali dari alam materi ke alam rohani, setelah terbutakannya cahaya fitrah dan rohani tersebut oleh gelapnya hawa nafsu karena dosa-dosa dan kehurdakaan.  Dalam pandangan sufi penghalang seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah karena dosa yang dimiliki oleh seorang hamba, karena al-Haqq yang Yang Maha Suci tidak bisa dihampiri oleh hamba yang tidak suci.
Taubat terbagi menjadi tiga bagian, yakni (1) taubat orang kafir yaitu taubat seseorang dari tidak percaya adanya al-Haqq menuju percaya dan yakin kemudian selalu mentaati semua perintah dan larangan-Nya; (2) taubat orang yang fasiq yaitu taubat orang Islam dari dosa-dosa besar menuju ketaatan yang mutlaq kepada-Nya; dan (3) taubat orang yang beriman yaitu taubat orang Islam dari dosa-dosa kecil.
Para sufi menjelasakan bahwa taubat bukan hanya menghapus dosa, akan tetapi lebih dari itu yakni menjadi syarat mutlak mendekatkan diri kepada al-Haqq.
b.    Al-Zuhud
Menurut bahasa, zuhud ialah meninggalakan sesuatu dan berpaling darinya, tanpa kecenderungan dan keinginan padanya, atau meremehkan dan merendahkan. Sebagian ulama sufi juga memaknai zuhud sebagai meninggalkan segala kesenangan fana duniawi demi kebahagiaan abadi ukhrawi.  Menurut para sufi, dunia dan semua kehidupan materinya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-pertbuatan dosa.
Zuhud dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni (1) orang yang zuhud terhadap dunia, padahal ia suka padanya, hatinya condong padanya dan nafsunya selalu menoleh padanya, kendati demikian dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan duniawi itu. Orang seperti ini disebut Mutazzahid (orang yang berusaha untuk hidup zuhud); (2) orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena menganggap perkara dunia itu sedikit sekali manfaatnya, meskipun ia menginginkannya. Tetapi ia melihat kezuhudan dan berpaling padanya; (3) orang yang zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap kezuhutannya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah meninggalakan jubah keduniaan.
c.    Al-Wara
Wara’ bermakna berhati-hati. Dalam tasawuf, wara’ ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi.  Dalam pegertian sufi, al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhkan diri dari syubhat sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi
     فَمَنِ اتَّقَى مِنَ الشُّبْهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأمِنَ الْحَرَامِ
Artinya: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (H.R. Bukhari)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum, dan memakainya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Allah.
d.    Al-faqr
Secara harfiah, fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau miskin. Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi merupakan tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer, bisa juga diartikan tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah.  Faqr berarti kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di dunia. Kekayaan seringkali menjadikan manusia lebih dekat kepada kemaksiatan, paling tidak memalingkan manusia dari hanya konsentrasi beribadah kepada Allah.
e.    Al-shabr
Sabar berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri. Sabar juga dapat berarti tetap merasa cukup meskipun kenyataannya tidak memiliki apa-apa. Jika sabar dilakukan dalam rangka mengekang keinginan nafsu dan amarah, maka dinamai kesabaran jiwa (as-Sabr an-Nafs). Sedangkan sabar dalam rangka menahan terhadap penyakit fisik, dinamai sabar badani (as-Sabr al-Badani). Kedua sabar ini penting dimiliki karena setiap manusia tidak lepas dari berbagai kesulitan. Dikalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi larangan-Nya, dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepada diri kita.
f.    At-Tawakal
Tawakal berarti menyerahkan diri, penyandaran hati kepada Allah dengan mempercayai-Nya sepenuhnya.  Secara sufistik, tawakal adalah menyerahan diri kepada ketentuan Allah. Jika mendapat nikmat ia bersyukur, jika mendapat musibah ia bersabar dan berserah diri kepada ketentuan Allah. 
Tawakal tidak akan didapati kecuali sesudah mengimani empat hal yang merupakan rukun tawakal, yakni (1) beriman bahwa al-Wakil Maha Mengetahui segala apa yang yang dibutuhkan oleh muwakkil (yang bertwakal); (2) beriman bahwa al-Wakil Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan muwakkil; (3) beriman bahwa Dia tidak kikir; (4) beriman bahwa Dia memiliki cinta dan rahmat kepada muwakkil. Bila ada cacat salah satu dari keempat hal tersebut, maka tawakal tidak akan dapat dicapai dan tidak ada penyandaran (kebergantungan) kepada Sang Wakil.
g.    Al-ridha
Ridha berarti rela. Secara istilah, rida adalah kerelaan yang tinggi terhadap apapun yang diberikan oleh al-Haqq baik sesuatu yang menyenangkan atau tidak sebagai anugerah yang istimewa pada dirinya.  Ridha adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa terhadap ketetapan dan takdir Allah, serta kemampuan menyikapinya dengan tabah, termasuk derita, nestapa, dan kesulitan yang muncul darinya yang dirasakan oleh jiwa kita.
B.    Pengertian Ahwal dan Macam-macam Ahwal
1.    Pengertian Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Hal sangat berlainan dengan maqam, karena maqam sebagai proses untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara perjuangan melawan hawa nafsunya yang sangat terjal, sedangkan ahwal merupakan sebuah fadhal (keutamaan) yang diberikan Tuhan dengan cara spontan tanpa adanya proses.
Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam. Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis).
Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.
Menurut Abu Nasr as-Sarraj ahwal adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dengan sebab dzikir yang tulus. As-Sarraj juga mengatakan bahwa pendapatnya sama dengan yang dikatakan oleh al-Junaid bahwa ahwal terletak di kalbu dan tidak kekal, artinya bisa ada dan bisa tidak ada. Senada dengan perkataan al-Qusyairi di atas, al-Sarraj menyatakan bahwa ahwal merupakan anugerah dari Allah SWT, tidak diperoleh melalui ibadah, riyadah dan mujahadah sebagaimana yang terjadi pada maqam.
Menurut Al Dairani ahwal adalah jika hubungan seorang hamba dengan Allah SWT sudah sedemikian merasuk ke dalam hati, maka seluruh anggota menjadi ringan.  Pernyataan al-Dairani ini mengandung dua makna. Pertama, anggota badan terasa ringan ketika menjalankan mujahadah dan susah payahnya dalam menjalankan ibadah. Hal ini akan terjadi dengan syarat ia mampu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan hati yang menyesatkan. Kedua, seseorang yang sudah mantap mujahadah, ibadah, dan perbuatan baik lainya maka hatinya akan merasakan nikmat dan manis, ia tidak lagi mengalami rasa capek dan penyakit yang mungkin ada sebelumnya.
2.    Macam-macam Ahwal
Terdapat beberapa macam ahwal, yaitu:
a.    Muraqabah
Muraqabah adalah meletakkan sesuatu di bawah perhatian, penantian, pengawasan dan hidup seperti diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah bertawajuh kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala yang selain Allah, menjalani hidup dengan mengekang nafsu terlarang dan mengatur hidup di bawah perintah Allah dengan penuh keimanan bahwa pengetahuan Allah selalu meliputi segala sesuatu. Dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah usaha sungguh-sungguh di bawah naungan kehendak Allah dan menjalani hidup dengan cara terbaik melalui keselarasan antara isi hati dengan penampilan di bawah pengawasan Allah.
Dengan penjelasan dalam ayat yaitu, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya”. (QS.Yunus 10:61)
Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, muraqabah merupakan buah dari makrifat yang menghasilkan dua level muraqabah. Pertama, muraqabah-nya orang-orang shiddiqin, orang-orang yang terpercaya atau jujur. Orang-orang shiddiqin bermuraqabah dengan menyerahkan hati, perasaan, dan diri mereka sepenuhnya pada keagungan Allah. Mereka melakukan pengabdian kepada Allah secara istiqomah tanpa perasaan berat sedikitpun.
Kedua, muraqabahnya orang-orang wara’, mereka bermuraqabah dengan menyadari bahwa Allah selalu mengawasi kondisi lahiriahnya dan batiniah mereka. Orang-orang wara’ bermuraqabah dengan melakukan dua intropeksi: intropeksi sebelum melakukan tindakan dan saat melakukan tindakan. Sebelum melakukan tindakan, mereka selalu mendengarkan bisikan hatinya, apakah bisikan tersebut mencari ridha Allah atau memuaskan nafsu saja. Jika hatinya membisikkan perbuatan itu karena untuk mencari ridha Allah, maka mereka akan melanjutkan perbuatan tersebut. Namun jika perbuatan tersebut semata-mata karena nafsu, maka mereka akan menghindari perbuatan tersebut atau tidak menindaklanjuti perbuatan tersebut.
Dalam muraqabahnya orang wara’ yang kedua yaitu saat melakukan tindakan. Pada saat ini mereka melakukan perbuatan hanya diniatkan terhadap Allah dan melakukan perbuatan dengan khusyu karena Allah tetap mengawasi amal mereka. Dengan muraqabah inilah mereka tetap mengontrol perbuatan yang ia lakukan dan mengerjakannya dengan sempurna.
Dalam muraqabah terdapat tiga tingkatan yaitu:
1)    Muraqabah al-qolbi yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.
2)    Muraqabah al-ruhi yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan Allah.
3)    Rahasia yaitu agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya. 
b.    Qurbah (kedekatan)
Menurut kaum sufi, Al-Qurb adalah pendekatan yang dilakukan manusia kepada Allah dengan melepaskan ikatan jasmani demi menggapai yang ada di akhirat. Kedekatan ini akan dicapai oleh orang penerima anugrah yang telah menemukan jalan kedekatan dan memasuki daerah yang menghantarkan mereka menuju keabadian. Jadi makna kedekatan ini ada dua arti yaitu: kedekatan kita dengan Allah dan kedekatan Allah dengan kita. Makna kedekatan kita dengan Allah adalah merasakan bahwa wujudnya Allah itu tidak diliputi oleh tempat, zaman atau masa, dan Allah tidak seumpama dengan suatu apapun dalam alam ini. Dengan tidak ada wujudnya tersebut, kita dapat merasakan alam ini dan yang menciptakan adalah Allah. Kedekatan Allah dengan kita yaitu segala apapun yang terdapat pada kita dan terjadi secara lahir dan batin semuanya di ketahui Allah sejak alam ini belum diciptakan dan sampai alam ini tiada lagi, itulah kekuasaan Allah.
Apabila keadaan ini sudah ilmul yaqin bagi kita, kemudian masuk meresap kedalam batin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan perasaan kita dapat melihat Allah dekat dengan kita. Penghayatan ini merupakan zikrullah yang penting yaitu ingat kepadanya dalam segala perbuatan lahiriah yang sedang kita kerjakan, apakah itu bersifat dunia ataupun agama. Jika penghayatan tersebut kita bawa dalam sholat dan ibadah maka disebut dengan hakikat Al-Ihsan, yaitu keterpaduan antara Al-Iman dan Al-Islam.
c.    Khauf
Secara terminologi Al-Khauf adalah menghindari perbuatan terlarang yang tidak haram, dan mejauhi perbuatan haram. Pendapat Qusyairi, khauf adalah perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan seseorang dari segala yang tidak diridhoi Allah. Jadi khauf dapat diartikan dengan perasaan seseorang yang takut akan siksa, sehingga menjauhi segala larangan Allah. Seseorang dapat melakukan mujahadah yaitu berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah untuk menjahui larangan Allah.
Abu Nashr as-Sarraj menjelaskan tiga level khauf. Pertama yaitu orang takutnya orang awam, mereka takut akan siksa Allah. Yang kedua yaitu, takutnya orang-orang kelas menengah, mereka merasa takut dari terputusnya hubungan dengan Allah dan tercemarnya kejernihan ma’rifat. Ketiga yaitu, takutnya orang orang mulia.
d.    Raja’
Raja’ atau harap adalah memperhatikan kebaikan dan berharap dapat mencapainya, dan memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih harapan tersebut. Para sufi mendefinisikan raja’ yaitu keterkaitan hati dengan sesuatu yang disukai yang akan dicapai di masa mendatang.   Berdasarkan kedua definisi tersebut maka dapat diartikan bahwa raja’ adalah sesuatu yang disukai ataupun diinginkan yang berharap dapat tercapai di masa mendatang.
Orang yang berharap ridho Tuhan tanpa mengerjakan apapun adalah seperti orang yang menunggu hasil tanpa mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan. Orang yang tidak memperbaiki akhlak dan perbuatannya, tidak pula menjaga dirinya dari perbuatan dosa lalu bangkit dan berharap dapat menyucikan dirinya adalah seperti petani yang menaburkan benihnya di tanah mati. Jelas bahwa tidak ada hasil apapun yang dapat dipetiknya dari benih yang telah ditaburkannya itu.
Sikap berharap yang sebenarnya dianjurkan bagi seorang hamba adalah harus dimulai dengan persiapan seluruh sarana yang dapat diperolehnya seperti yang diperintahkan Allah. Selanjutnya sang hamba harus memanfaatkan sarana tersebut sesuai dengan kemampuan yang telah diberikannya. Setelah itu ia dapat menunggu dan berharap kepada Allah agar menyempurnakan perhatian dan bimbingannya terhadap sarana yang telah diberikannya dan yang telah ia peroleh sebelumnya, sehingga ia dapat mewujudkan hal-hal positif lain yang tidak masuk kedalam cakupan kehendak dan pilihannya setelah itu dapat menghilangkan rintangan-rintangan dari jalannya.
e.    Tuma’ninah
Tuma’ninah sering didefinisikan dengan ketenangan sempurna yang terwujud ketika kehidupan hati tidak lagi diguncang kacau, dan gelisah. Ditahapan ini akal menyelesaikan perjalanannya diatas semesta. Ketika mencapai tahapan ini, roh akan terbebas dari kegundahan dunia. Dalam tahapan ini perasaan akan menemukan apa yang diinginkan sehingga ia berubah menjadi samudera setelah sebelumnya ia hanya berwujud setetes air.
Menurut As-Sarraj ada tiga level tuma’ninah, pertama yaitu ketenangan bagi kaum awam. Saat ia berdzikir kepada Allah, mereka merasa tenang. Maka bagian yang mereka dapatkan dari dzikir tersebut adalah doa-doa mereka dikabulkan, diperluas rezekinya dan dihindarkan dari bencana. Kedua, adalah ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka rela dan senang atas keputusan takdirnya sabar atas cobaan, ikhlas, takwa dan tenang. Ketenangan mereka bercampur dengan penglihatan mereka pada ketaatan yang mereka lakukan. Ketiga yaitu golongan yang paling khusus. Mereka tahu bahwa rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepadanya dan bisa tenang kepadanya, karena kewibawaan dan keagungannya. Sebab Dia tidak memiliki ambang batas tertentu yang bisa dijangkau.
f.    Musyahadah
Amr bin Utsam al maliki menyatakan bahwa musyahadah adalah kesinambungan antara penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah ketika tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan.  Dalam perspektif Al-Hujwuri, ada dua macam musyahadah. Yang pertama yaitu, hasil dari kepercayaan yang sempurna dan yang kedua yaitu hasil dari cinta membara, karena dalam derajat ini seluruh wujudnya terserap dalam pikiran tentang yang dicintainya dan ia tidak melihat yang lain. Muhammad bin Wasi’ mengatakan ”aku tidak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan didalamnya”. Penglihatan ini adalah dari Tuhan kepada makhluk-makhluknya. Orang melihat tindakan dengan mata jasmaniah dan ketika melihat Sang Pencipta ia menggunakan mata rohaniahnya. Yang lain sirna karena mencintai Sang Pencipta, sehingga ia hanya melihat Sang Pencipta.
Tuhan telah berfirman tentang Rasul pada saat Mi’raj: “penglihatannya tidak menyimpang atau tidak melampaui daripada yang dilihatnya”. (Q.S Al-Najm 53:17), karena kerinduannya kepada Tuhan. Apabila Sang Pencipta memalingkan matanya dari benda ciptaan, ia tentu akan melihat sang pencipta dengan hatinya. Dan hendaklah mereka menutup mata jasmaniah mereka terhadap hawa nafsu dan mata rohaniah mereka terhadap benda-benda ciptaan.
g.    Yakin
Menurut para Sufi yakin adalah pengetahuan mengenai dasar keimanan, khususnya tauhid yang menjadi titik sentralnya, dengan tingkat pengetahuan sama sekali tidak tercampur oleh lawan dari keimanan tersebut. yakin juga bisa dikatakan yaitu sikap menerima, mengetahui, menyadari iman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jati diri manusia.
Menurut kaum sufi yakin dibagi menjadi tiga level yaitu:
1)    Ilm al-yakin yaitu pencapaian iman terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai dengan memperhatikan detai-detail petunjuk yang jelas. Sebagai contoh yaitu pengetahuan seseorang atas kematian, sebab sebelum kematiannya datang, seperti sakit lalu meninggal. Pencapaian pada ilm al-yakin ini merupakan derajat para ulama. Maka ilmu apapun yang dimiliki seorang manusia yang didapat melalui kesimpulan ilmiah di-sebut ilm al-yakin.
2)    ‘Ainul al-yakin, pencapaian makrifat melampaui batasan definisi yang dilakukan oleh roh melalui penyingkapan, persepsi, dan kesadaran. Contoh dari level ini adalah penglihatan seseorang atas malaikat yang datang untuk mencabut nyawanya setelah penghalang yang menutup pandangannya terbuka saat mengalami sakaratul maut. ‘ainul al-yakin ini juga dapat diartikan pencapaian derajat para ahli makrifat. Pencapaian pengetahuan yang ia lakukan ini dengan penglihatan, pendengaran, dan berbagai indranya yang benar disebut ‘ainul al-yakin.
3)    Haqq al-yakin yaitu anugrah berupa kebersamaan yang mengandung banyak rahasia, tanpa penghalang yang melampaui imajinasi manusia. Dari level ini dapat diambil contoh yaitu cita rasa yang dirasakan seseorang atas kematian yang ia alami, inilah titik lenyap nyawa seseorang. Maka pengetahuan yang dicapai oleh hatinya sehingga mengalahkan pancaindra, baik lahir maupun batin tanpa membutuhkan dalil ataupun petunjuk inilah yang disebut haqq al-yakin.
C.    Perbedaan Maqomat dan Ahwal
Adapun perbedaan antara maqomat adalah ahwal adalah bahwa maqom merupakan kedudukan spiritual yang diupayakan, sedangkan ahwal merupakan kondisi spiritual sebagai anugerah dari Tuhan. Maqom menunjuk pada jalan sang pencari, dan kemajuannya di medan juang,dan peringkatnya di hadapan Tuhan sesuai dengan kabajikannya, sedangkan ahwal menunjuk pada nikmat dan kemurahan yang Tuhan anugerahkan kepada hati hamba-Nya. Maqom termasuk dalam kategori tindakan, sedangkan ahwal termasuk dalam kategori anugerah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam yang artinya tempat berdiri, stasiun, lokasi, posisi, atau level. Dalam ilmu tasawuf, maqam adalah aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah dengan amalan-amalan tertentu. Para sufi berbeda pendapat mengenai macam-macam dari maqam, adapun macam-macam maqam yang disepakati oleh para sufi, yakni: al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridha.
Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal yang artinya keadaan mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal adalah kondisi spiritual sebagai anugerah dari Tuhan. Adapun macam-macam ahwal yaitu: Muraqabah, Qurbah, Khauf, Raja’, Tuma’ninah, Musyahadah, dan Yakin.
Perbedaan antara Maqamat dan Ahwal adalah bahwa maqom merupakan kedudukan spiritual yang diupayakan, sedangkan ahwal merupakan kondisi spiritual sebagai anugerah dari Tuhan. Maqom termasuk dalam kategori tindakan, sedangkan ahwal termasuk dalam kategori anugerah.
B.    Saran
Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca dan dapat menambah wawasan pembaca. Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan yang ada dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu kamu mengharap kritik dan  saran yang membangun dari pembaca agar lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Azis, Saifullah. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang
Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Mizan
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Solihin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN-Maliki Perss
Zaprulkhan. 2016. Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Farhan, Ibnu. 2016. “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi”. Jurnal YAQZHAN Vol. 2, No. 2
Ibnarsyad. 2014. “Maqam dan Ahwal: Makna Dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan”. Jurnal Substantia Vol.16, No. 1
Miswar. 2017. “Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses Bertasawuf”. Jurnal ANSIRU PAI Vol. 1, No. 2
Mukholik, Ayis. 2017. “HUMAN SPIRITUALITY PHASES IN SUFISM The Study of Abu Nasr Al-Sarraj’s Thought in The Book of al-Luma'. Indonesian Journal of Islamic Mysticism  Vol. 6, No. 1

Post a Comment

0 Comments