About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Istrimu Zaujah Ataukah Imroah

 


Zaujah Atau Imroah


Oleh : Abid Nurhuda (Mahasiswa PAI IAIN Surakarta)


(Renungan Untuk Semua Suami/Istri)


Apakah kita telah memiliki satu visi dan akidah yg benar, harmonis dan tiada masalah yg mengganjal antara suami dan istri ?

Muhasabah dan tadabbur untuk para suami (dan istri) dari bahasan Tafsir al-Qur’an Tematik
BEDA “IMRA’AH, ZAUJAH, SHAHIBAH” 
DALAM AL-QUR’AN

Al-Qur’an menggunakan kata istri dengan tiga lafadz yaitu Imra’ah, Zaujah, Shahibah, tetapi apa konotasi masing-masing sama, atau berbeda? Terkadang isteri disebut Zaujah, kadang Imra’ah, mengapa dibedakan? 

Mari kita cerna dan analisis dengan baik, perbedaan masing-masing lafadz ini dalam al-Qur’an:

*Pertama, imra’ah [perempuan].* 

Jika dia *mempunyai hubungan fisik & ikatan perkawinan* antara pria dan wanita, tetapi *tidak ada keharmonisan dan kecocokan pemikiran*, maka perempuan ini disebut *imra’ah*.

*Kedua, zaujah [perempuan yang menjadi isteri].* 

Jika *ada hubungan fisik & perkawinan, saling mengasihi, karena adanya kecocokan pemikiran, keharmonisan dan cinta kasih.* Perempuan ini disebut *zaujah [isteri/pasangan hidup].*

Mengapa demikian ?

Mari kita perhatikan, ketika Alloh menyebut:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ *وَامْرَأَتَ لُوطٍ*

“Alloh telah membuat perumpamaan bagi orang Kafir *perempuan [isteri] Nuh dan perempuan [isteri] Luth.*” [Q.s. at-Tahrim: 10] 

Alloh tidak menyebut, “Zaujah Nuh”, atau “Zaujah Luth.” Hal ini karena *adanya perbedaan visi dan akidah di antara keduanya*. Mereka, Nuh dan Luth ‘alaihima as-salam, adalah para Nabi, dan beriman, sementara isteri-isteri mereka tidak beriman.

Begitu juga ketika Alloh menyebut: 

وَقَالَتِ *امْرَأَتُ فِرْعَوْن*َ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ ۖ

“Dan berkatalah *perempuan [isteri] Fir'aun,* “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.” [Q.s. al-Qasas: 09]

Tidak menyebut, “Zaujah Fir’aun”, *karena Fir’aun tidak beriman,* atau Kafir, sementara *isterinya telah beriman.*

Sementara itu, perhatikanlah beberapa posisi, ketika al-Qur’an yang mulia menggunakan lafadz, *“Zaujah” [isteri/perempuan yang menjadi pasangan hidup] yang 1 visi dan akidah yg lurus,* Alloh berfirman:

ﻭَﻗُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ آﺩَﻡُ ﺍﺳْﻜُﻦْ ﺃَﻧْﺖَ *ﻭَﺯَﻭْﺟُﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ*

“Dan Kami [Allah] berfiman, “Wahai Adam, tinggallah kamu *dan isterimu di surga*.” [Q.s. al-Baqarah: 35]

ﻳﺎَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ *ِﻷﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ*

“Wahai *Nabi*, katakanlah *kepada isteri-isterimu*...” [Q.s. al-Ahzab: 28]

Itu semua, karena Alloh ingin menunjukkan *adanya kecocokan pemikiran dan keharmonisan yang sempurna terutama dalam hal agama* di antara keduanya.. 

Memang ada kasus dimana adakalanya Alloh menggunakan lafadz, “imra’ah” [perempuan], dengan konotasi isteri yang agamanya sama, sebagaimana yang digunakan melalui lisan Nabi Zakaria ‘alaihissalam, meski pemikirannya sama, dan ada keharmonisan di antara keduanya. 


Yang beda adalah pada hati Nabi Zakaria ada *harapan yang kurang terpenuhi dan masih mengganjal di benaknya* pada istrinya, yakni terkait *masalah keturunan*

Alloh berfirman:

ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ *ﺍِﻣْﺮَﺃَﺗِﻲْ ﻋَﺎﻗِﺮﺍً‏*

“ *Isteriku* adalah wanita yang mandul.“ [Q.s. Maryam: 05]

Ternyata, saat itu ada kemungkinan sedang *terjadi masalah dalam hubungan antara Zakaria dengan isterinya, karena masalah kemandulan.* Maka, Nabi Zakaria mengadukan harapannya kepada Alloh.

 Singkatnya, *setelah Alloh  menganugerahkan putra kepadanya*, yaitu Nabi Yahya ‘alaihissalam, sehingga *tiada lagi masalah yang mengganjal di hati suami dan istri* maka ungkapan al-Qur’an yang digunakan juga berbeda. Allah berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ 

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan *Kami jadikan isterinya dapat mengandung*.“ [Q.s. al-Anbiya’: 90]

Dalam konteks yang lain, Alloh juga menelanjangi rumah tangga Abu Lahab, seraya berfirman:

*وَامْرَأَتُه*ُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” [Q.s. al-Lahab: 4]
 
Al-Qur’an ingin menunjukkan, bahwa di antara mereka *sebenarnya tidak ada kesepahaman dan kecocokan.*

*Ketiga, lafadz “Shahibah” [pendamping]*

 Al-Qur’an menggunakan lafadz “Shahibah” ketika *hubungan secara fisik,  perkawinan dan pemikiran antara suami isteri tersebut telah putus*. Karena itu, hampir sebagian besar untuk menggambarkan fenomena pada Hari Kiamat, al-Qur’an menggunakan lafadz, “Shahibah”.  Alloh berfirman:

ﻳَﻮْﻡَ ﻳَﻔِﺮُّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧِﻴْﻪِ ﻭَﺃُﻣِّﻪِ وَﺃَﺑِﻴْﻪِ *ﻭَﺻَﺎﺣِﺒَﺘِﻪِ ﻭَﺑَﻨِﻴْﻪِ*

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari *istri (pendamping) dan anak-anaknya*.” [Q.s. ‘Abasa: 24-26]

Hal ini karena hubungan fisik dan pemikiran di antara keduanya telah terputus. 

Pertama, *karena kematian,* dan kedua *karena huru hara pada Hari Kiamat*. 

Untuk menegaskan itu, Alloh dengan tegas berfirman:

أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن *لَّهُ صَاحِبَةٌ*

“Bagaimana Dia (Alloh) mempunyai anak padahal *Dia tidak mempunyai isteri?*” [Q.s. al-An’am: 101]

Mengapa Alloh tidak menggunakan lafadz, “Zaujah” atau “Imra’ah”?

 Itu semua untuk menafikan adanya hubungan fisik, perkawinan dan pemikiran, dengan penafikan secara pasti, baik secara global maupun detail. Hal ini karena Alloh  ﷻ tidak mungkin melakukan hal tsb.

Nah, PR untuk kita semua adalah apakah para suami muslim selama ini *hanya memiliki zaujah atau masih sebatas imro'ah ?*

Sudahkan kita *satu visi, harmonis,  memiliki aqidah dan pemahaman agama yang sama2 lurus serta tak ada masalah dan kekecewaan pada suami/istri kita ?*

Maha Suci Alloh yang telah menurunkan 
Mukjizat al-Qur’an yang luar biasa.

Post a Comment

0 Comments