About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Mahabbah dan Ma'rifah







 MAHABBAH DAN MA'RIFAH



Cara Mendekatkan diri kepada Allah
Mahabbah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

    Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu islam yang menekankan aspek spiritual dan kerohanian. Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati. Banyak sekali paham yang merupakan cabang dari ilmu tasawuf yang dijalankan dan dikemukakan oleh kaum sufi, diantaranya yaitu mahabbah dan ma’rifat. Mahabbah yang merupakan luapan rasa cinta yang mendalam dari makhluk kepada Sang Kholiq sedangkan ma’rifat adalah pengetahuan tentang Tuhan dalam sanubari, yang keduanya merupakan upaya mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati.
    Dalam makalah ini akan dibahas secara singkat mengenai mahbbah dan ma’rifah yang meliputi pengertian, tujuan, kedudukan, tokoh-tokohnya dan pandangan menurut Al-Quran dan al-Hadis.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah dan Ma’rifah?
2.    Apa saja alat untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah?
3.    Siapakan tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Ma’rifah?
4.    Bagaimana Mahabbah dan Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah dan Ma’rifah.
2.    Untuk mengetahui alat untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah.
3.    Untuk mengetahui tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Ma’rifah.
4.    Untuk mengetahui Mahabbah dan Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mahabbah (Cinta Ilahi)
1.    Pengertian Mahabbah
Dalam Bahasa Indonesia kata cinta  dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau khawatir. Sedangkan secara psikologi, cinta adalah perasaan kusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melakat pada objek, cinta berwana emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruan emosi primer, sesui dengan emosi dimana objek itu berada.
Ulama-ulama ma’ani menjelaskan, Mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu karena indahnya dan lezatnya bagi orang yang mencintai.
Dalam tasawuf, mahabbah yang di maksud adalah cinta kepada Allah. Ini adalah cinta tertinggi. Menurut para ahli tasawuf. Cinta yang meliputi ilham, pancaran dan laupan-laupan hati, cinta dengan segala perasan dan keberadaannya. Al-Juanid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati, yaitu hati seseorang cenderung kepada Allah SWT. Dan segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha.
Cinta adalah keadaan sepiritual yang sangat tinggi oleh karena itu sulit di definisikan. Menurut Rumi, akal yang berusaha menjelaskan adalah seperti keledai di dalam paya, dan pena yang yang berusaha menggambarkannya akan hancur berkeping-keping. Cinta tidak dapat di definisikan dan hanya dapat dirasakan.
2.    Tujuan Mahabbah
        Pada dasarnya tujuan ibadah para sufi adalah untuk berada sedekat mungkin dengan tuhan. Guna mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi harus menempuh jalan (thariqah), yang Panjang penuh duri, dan berisi stasiun-stasiun (maqamad). Maqamad ini berupa amalan peribadatan. Ulama tasawuf tidak selamanya sepaham tentang jumlah dan urutan stasiun-stasiun itu, yang bias disebut adalah al-taubah, al-zuhd, al-shabr, al-tawakal dan al-ridha. Kadang sufi kurang merasa puas dan ingin lebih dekat lagi kepada Tuhan, maka setelah maqam ridha timbulah maqam al-mahabah, al-ma’rifah, al-fana dan al-baqa’ serta al-ittihad.
3.    Kedudukan Mahabbah
Dalam hubungan dengan  maqamad, tentang urutan Mahabbah terjadi perbedaan yaitu dianatara mahabbah dengan ma’rifah, yaitu ada yang mendahulukan mahabbah sebelum ma’rifah, dan ada yang mengatakan ma’rifah datang lebih dulu.
Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa ma’rifah adalah maqam yang tertinggi, yang bias di capaioleh orang yang telah cinta kepada Allah.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma’rifah itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya anatara kedua madus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubariadalah kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi ukuran menjadi ukuran satu sama lain.”

4.    Alat-Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Disini Kami hanya bisa menyebutkan beberapa alat-alat untuk mencapai mahabbah yaitu:
a.    Hati
Hati di jelaskan sebagai sesuatu yang identic dengan spiritualitas. Ketulusan, niat baik, belas kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari hati. Dalam psikologi sufi, hati memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam. Kecerdasan yang dimiki hati lebih mendalam dan mendasar daripada kecerdasan yang cenderung abstrakyang di miliki oleh akal kita.
b.    Diri (nafs)
Dalam psikologi sufi merupakan sebuah aspek psikis pertama yang menjadi musuh kita. Nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga bagi kita dan tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki beberapa tingkatan. Tingkat terendah adalah nafs tirani. Ia merupakan nafs yang dapat menjauhkan kita dari spiritualitas. Tingkat tertinggi adalah nafs yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai tingkat optimal bagaikan mencapai tingkan kesempurnaan yang dapan memantulkan cahaya Ilahi.
c.    Jiwa
Dalam psikologi sufi, jiwa di identikkan dengan sesuatu yang berevolusi. Jiwa memiliki tujuh aspek, yaitu mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, maharahasia. Setiap aspek memiliki penjelasan masing-masing dan di tulis dalam bab kusus. Akan tetapi, secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut dapat di capai secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini bekerja secara seimbang dan harmonis.

5.    Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Tokoh yang mengembangkan mahabbah termasyur yang sering diungkapkan dalam literatur yakni Rabi’ah Al-Adawiyah. Dia adalah seorang zahid perempuan yang berasal dari Bashrah, Irak, yang hidup pada tahun 713 – 801 M.  Rabi’ah hidup pada masa akhir pemerintahan Dinasti Umayyah dan pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang mulai menapaki puncak kekuasaan. Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah al-Qishiyyah. Dia juga merupakan sufi wanita beraliran Sunni yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya bagi Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of The Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar, karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan bagi ahli sufi lain seperti Ibnu Al-Faridh dan Dhun Nun Al-Misri. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai do’a yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Dalam suatu riwayat menyebutkan ia selalu menolak lamaran-lamaran pria shalih, dengan menyatakan : “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”. Dan ketika dia sakit, ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya : “Demi Allah aku tidak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dia-lah yang dapat membuatku bahagia”.
Cinta Rabi’ah yang tulus terlihat dari syair-syairnya,
“Tuhanku,
Jika aku menyembah pada-Mu lantaran takut api neraka, bakarlah aku didalamnya.
Dan jika aku menyembah Engkau lantaran mengharap pahala surga, jauhkanlah aku daripadanya.
Akan tetapi jika aku menyembah pada-Mu lantaran Dirimu, jangan Kau sembunyikan keindahan-Mu yang Abadi”.
Dan di syair yang lain,
“Aku mencintaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaanku senantaiasa mengingat-Mu
Cinta kerana diri-Mu, adalah lantaran keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Baik untuk ini untuk itu pujian bukanlah bagiku, bagi-Mu lah pujian untuk semuanya,
Buah hatiku hanya Engkaulah yang ku kasihi,
Beri ampunilah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu,
Engkau-lah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku,
Hatiku enggan mencintai selain Engkau.

6.    Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadist
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang mahabbah diantaranya :
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ  يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ  وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (٣١)
Artinya :    "Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Ali 'Imran (3) : 31)

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗۤ  ۙ  اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ  ۖ  يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَآ ئِمٍ  ۗ  ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُ   ۗ  وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ(٥٤)
Artinya :    "Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui." (QS. Al-Ma'idah (5): 54)
Sedangkan dalil dari hadist nabi terdapat pada haist yang diriwaytakan oleh Imam Bukhari berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَىْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِى عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ 
Artinya :     “Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: telah bersabda Rasulullah  SAW.: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali–Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepadaKu pasti Aku akan melindunginya, tidaklah Aku ragu tentang sesuatu yang aku lakukan seperti keraguanku tentang (mencabut) nyawa seorang mu’min, dia tidak suka kematian (kesakitan dan kesulitanny), sedangkan Aku tidak suka keburukannya (menyakitinya krn saat lanjut usia ia akan berkurang kekuatannya, menjadi uzur dst, juga sakitnya ia menghadapi kematian)”. (HR. Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no 6021)
B.    Ma’rifah
1.    Pengertian Ma’rifah
Secara bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman.  Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.  Sedangkan dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah.
Ma’rifah bagi K.H.Ahmad Rifa’I, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya, yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati.  Menurut Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Kesimpulan dari pengertian diatas yaitu, ma’rifah merupakan sebuah ilmu tanpa keraguan di dalamnya yang digunakan untuk mengetahui rahasia-rahasia Tuhan melalui hati sanubari, sehingga dapat melihat keagungan Tuhan.

2.    Tujuan Ma’rifah
Dilihat dari definisi bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifah adalah untuk mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.

3.    Kedudukan Ma’rifah
Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma’rifah ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Menurut pandangan al-Junaid, ma’rifah dianggap sebagi hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali memandang bahwa ma’rifah datang sebelum mahabbah. Sedangkan menurut al-Kalabazi, ma’rifah datang setelah mahabbah. Namun ada pula yang beranggapan bahwa mahabbah dan ma’rifah merupakan kembar yang selalu disebut berbarengan. Keduanya itu menggambarkan hubungan rapat antara antara seorang sufi dengan Tuhan

4.    Alat Untuk Ma’rifah
Menurut para sufi, alat yang digunakan untuk memperoleh ma’rifah adalah sir.  Sir timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah ketika qalb dan ruh telah suci-sesucinya. Dalam ar-Risalah al-Qusyairiah, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan oleh kaum sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Pertama, qalb yang digunakan untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, ruh, yang digunakan untuk mencintai Tuhan. Dan ketiga, sir, yang digunakan untuk melihat Tuhan.



5.    Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah
    Diantara beberapa tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah terdapat dua tokoh islam yang terkenal dalam hal ini yaitu Al-Ghazali dan Dzu al-Nun al-Misri.
a)    Al-Ghazali
    Al-Ghazali merupakan salah seorang tokoh islam yang berjasa dalam memperjuangkan kemurnian islam, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di desa Ghuzala daerah Thus salah satu kota di Khurasan, Iran pada tahun 450H/1085M. Masa kecilnya di awali dengan belajar tentang ilmu agama pada Imam Haramain Al-Juwaini, seorang guru besar di Universitas al-Nizhamiyah Nisyafur. Beliau sangat dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan dan senang melakukan pengembaraan spiritual ke berbagai daerah untuk belajar dan beribadah, hingga pada akhirnya mengantarnya menemukan jalan yang menemukan kepuasan batinnya, yakni jalan sufi dan memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara ia akhirnya kembali ke kampung halaman asalnya, di Thus dan meninggal di sana pada tahun 1111 M.
    Al-Ghazali memperkenalkan paham ma’rifat dalam berbagai kitab dan pengajarannya, menurutnya ma’rifat adalah memandang kepada wajah (rahasia) Allah dan mengenal segala ajaran-Nya. Al-Ghazali dalam kitabnya menyebutkan bahwa:
الإطلاع على أسرار الربوبيّة والعلم بترتب الأمور الإلـهيّة المحيطة بكل الموجودات
“Tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada”
    Untuk bisa mengetahui hakikat segala sesuatu dan mampu mengetahui rahasia Tuhan, hanya bisa dilakukan dengan  hati (qalb) yang bersih sehingga yang dilihatnya hanyalah Tuhan dan disinilah menunjukkan bahwa seseorang telah sampai ketingkat ma’rifah. Sependapat dengan Al Ghazali, Al Hujwiri dalam kitab Kashf al-Mahjûb mengatakan :
“ma’rifat as God’s gift, as if light irradiates arif people. He saw ma’rifat as a heart attached to God and diverts others. Thus, ma’rifat is given to the one who is close to God because it comes from the heart free from abjection, badness, and contemptible.”    
    Ma’rifat sebagai hadiah dari Tuhan, seperti cahaya yang menyinari orang arif. Al Hujwiri melihat ma’rifat sebagai hati yang hanya terikat pada Tuhan dan mengalihkan yang lainnya. Dengan demikian, ma’rifat hanya diberikan kepada orang yang dekat dengan Tuhan karena itu berasal dari hati yang bebas dari kehinaan, keburukan, dan kenistaan.
    Namun untuk sampai kepada tingkat ma’rifah tersebut seorang sufi harus melalui proses yang dikenal dengan istilah maqamat. Dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, Al-Ghazali menyebut maqamat tersebut diantaranya taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, ma’rifah, cinta dan kerelaan. Al-Ghazali juga menuturkan pendapatnya mengenai mahabbah dan ma’rifah, menurutnya ma’rifah lebih dulu urutannya dari mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Berbeda dengan pendapat Rabiah al-Adawiyah, bahwa mahabbah adalah bentuk cinta seseorang yang timbul dari rahmat Tuhan kepada hamba-Nya. Kerangka tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya rahmat yang dicapai oleh seorang sufi.
b)    Dzu al-Nun al-Misri.
    Dzu al-Nun al-Misri merupakan tokoh sufi kedua tertua dalam sejarah islam setelah sufi wanita, Rabi’ah al-Adawiyah yang menggagas konsep almahabbah (cinta). Nama asli beliau adalah Tsauban bin Ibrahim atau lebih dikenal dengan panggilan Abu al-Faidh, adapun nama Dzu al-Nun merupakan gelar yang disematkan kepadanya karena beliau memiliki karamah, yang di antara unsurnya menyerupai apa yang terjadi pada Nabi Yunus As. Sedangkan sebutan al-Misri karena beliau dibesarkan dan wafat di Mesir. Tidak diketahui secara pasti mengenai tanggal kelahirannya namun diperkirakan beliau lahir pada tahun 155H/771M dan meninggal pada tahun 245H/859 M.
    Adapun konsep ma’rifah yang Dzu al-Nun kemukakan adalah pengetahuan haikiki tentang Tuhan. Menurutnya, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan: (1) Pengetahuan ‘awwam, yang hanya mengenal Tuhan terbatas pada pengucapan dua kalimat syahadat; (2) Pengetahuan ‘ulama’, yang mengenal Tuhan dengan penalaran, logika dan dalil-dalil ilmiah; (3) Pengetahuan shufi, yang mengenal Tuhan dengan hati sanubarinya.
    Pengetahuan dalam arti pertama dan kedua disebut ilmu karena dominan menggunakan akal atau bersifat ilmiah sehingga tidak bisa sampai ke tingkat hakiki. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan, dan disebut sebagai  al-ma’rifah karena hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Alma’rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzu al-Nun ditanya, bagaimana ia memperoleh al-ma’rifah tentang Tuhan? Ia menjawab:
عرفت ربي بر بي ولولاربيلماعرفتربي
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu tentang Tuhan.”
    Hal tersebut menggambarkan bahwa al-ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian Tuhan. ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak Tuhan. Al-ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai-Nya serta menunjukkan ketaatan, ketaqwaan kepada Allah SWT. 
6.    Ma’rifah Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai sekitar 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi :
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُور...
“Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun”. (Q.S An-Nur, 24:40)


أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya).” (Q.S. Al-Zumar, 39:22).
        Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat orang sufi adalah cahaya. Oleh karena itu, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam karena memiliki keterkaitan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Selanjutnya di dalam Hadits, Rasulullah SAW bersabda:
كُنْتُ خَزِنَةً خَافَيَةً اَحْبَيْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِي
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku.” (Hadis Qudsi)
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena terdapat di dua sumber ajaran islam yaitu Al-Qur’an dan hadis.  


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

    Mahabbah merupakan cinta tertinggi yaitu cinta terhadap Allah. Al-Juanid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati, yaitu hati seseorang cenderung kepada Allah SWT. Dan segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha. Kemudian menurut Al-Ghazali ada lima sebab yang menimbulkan mahabbah, yaitu kecintaan manusia pada diri sendiri, kecintaan kepada yang berbuat baik kepadanya, kecintaan kepada yang berbuat baik terhadap segala sesuatu, kecintaan kepada setiap yang indah karena keindahan itu sendiri, dan cinta yang timbul karena saling menyesuaikan. Sedangkan dasar hukum dari mahabbah adalah Al- Qur'an dan juga hadits. Ada tiga alat yang mana digunakan untuk mencapai mahabbah, di antaranya adalah hati, diri (nafs), dan jiwa. Tokoh yang mengembangkan mahabbah termasyur yang sering diungkapkan dalam literatur yakni Rabi’ah Al-Adawiyah. Adapun mahabbah dalam Al-Qur'an salah satunya yaitu dalam QS. Al 'imran ayat 31 dan dalam hadits salah satunya yaitu dalam HR. Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no 6021.
    Ma’rifah merupakan sebuah ilmu tanpa keraguan di dalamnya yang digunakan untuk mengetahui rahasia-rahasia Tuhan melalui hati sanubari, sehingga dapat melihat keagungan Tuhan. Dilihat dari definisinya, tujuan dari ma'rifah yang ingin dicapai ma’rifah adalah untuk mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Kedusukan dari ma'rifah, ada yang menganggap sebagai hal dan ada yang menganggap sebagai maqam. Sedangkan alat yang digunakan untuk memperoleh ma’rifah adalah sir. Tokoh islam yang mengembangkan mahabbah diantaranya Al-Ghazali dan Dzu al-Nun al-Mishri. Adapun ma’rifah dalam Al-Qur'an salah satunya yaitu dalam QS. An-Nur ayat 40 dan QS. Al-Zumar ayat 22.
B.    Saran
Hendaknya para pembaca lebih banyak lagi membaca buku-buku yang berkaitan dengan tema mahabbah dan ma'rifah diatas supaya makin faham dan jelas, mengingat keterbatasan dan terlalu ringkasnya pemakalah dalam menyajikan. Kritik dan saran sangat diharapkan agar kedepannya kami semakin baik dalam membuat karya tulis. 




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah. 2016. Maqamat Makrifat Hasan Al Basri dan Algazali. AL-FIKR. 20 (2) :312-313.
Asfari MS,  Sukatno,  Otto CR. 2018. Mahabbah Cinta Mengarungi Samudra Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah.Yogyakarta: Pustaka Hati.
Azhar, Kautsar. 2015. Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi. Jakarta: Sadra Press.
Burhanuddin, Nunu. 2017. The Relationship Between Ma’rifat and The Theory of Knowledge and It’s Implication in Education. European Journal of Educational and Development Psychology. 5 (4): 32.
Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Hormus, Muchammad. 2009. Kunci Rahasia Ketuhanan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Iman,Ma’rifat. 2015. Konsep Al-Ma’rifah dalam Tradisi Sufisme Dzu al-Nun al-Mishri. Jurnal ilmu-ilmu keislaman AFKARUNA. 11 (1): 31-35.
Jinan, Mutohharun. 2017. Konteks Religio-Politik Perkembangan Sufisme : Telaah Konsep Mahabbah dan Ma’rifah. Studi Islam. 18 (1): 67
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tamani. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Post a Comment

0 Comments