About Me

Menuang Rasa , Merajut Asa
>Abid Nurhuda

Makalah Mukhtalif Hadist







mengkompromikan hadist yang bertentangan
Mukhtalif Hadist

 Oleh : Abid Nurhuda
Mahasiswa PAI IAIN Surakarta


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali cabang –cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits. Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif al-hadits. Ilmu ini membahas tentang hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas tentang metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan diantara hadits-hadits nabi tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba membahas tentang ilmu mkhtalif al-hadits ini.
B.    Rumusan Masalah.
1.    Bagaimana sejarah ilmu muhktaliful hadist?
2.    Apa pengertian mukhkitaliful hadist?
3.    Apa urgensi dan syarat dari mukhtalif hadist?
4.    Apa saja penyebab dan metode penyelesaian dalam perkara mukhtalif hadist?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui sejarah mukhtaliful hadist
2.    Untuk mengetahui pengertian mukkhtaliful hadist
3.    Untuk mengetahui urgensi dan syarat dari mukhtalif hadist
4.    Untuk mengetahui penyebab dan metode penyelesaian dalam perkara mukhtalif hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Mukhtalif Hadist
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits dan Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi. Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-Suyuti dan sebagainya .
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajiannya. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut. Hadits mukhtalif adalah hadits–hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain. Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbûl (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar difahami oleh orang yang bukan ahlinya .
B.    Pengertian Mukhtalif Hadist
Menurut bahasa, kata mukhtalif adalah bentuk ism fā‘il (pelaku, subyek) dari ikhtalafa  yang berarti bersalahan atau berbeda, dan merupakan lawan dari kata ittafaqa yang berarti bersepakat. Mukhtalif al-Ḥadīts ialah Ḥadīts-Ḥadīts yang sampai kepada kita bertentangan satu sama lain secara makna. Sedangkan menurut istilah, mukhtalif alḤadīts ialah ḥadīts-maqbūl (diterima) yang kontradiktif dengan Ḥadīts sejenis lainnya dan dimungkinkan untuk dilakukan kompromi antara keduanya . Dengan kata lain, mukhtalif al-Ḥadits ialah ḥadīts-maqbūl yang bertentangan dengan Ḥadīts sejenisnya secara lahiriah .
Al-Syathibi berpendapat tidak semua hadist mukhtalif dapat diselesaikan dengan cara mengkompromikannya, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk nasakh atau tarjih. Dengan demikian makna hadist mukhtalif menurut beliau adalah hadist hasan atau sahih (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan lainnya, namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya dapat diselesaikan dengan metode jam’u, Tarjih ataupun nasakh . Dari pengertian diatas dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangakan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut
C.    Urgensi Mukhtalif Hadis
Membaca sepintas perkataan dari al-Sakhawiy menjadikan ilmu mukhtalif ini sebagai ilmu yang terpenting disamping ilmu hadis yang lain. Karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadis tanpa adanya bantuan ilmu ini, seseorang dapat mengatakan suatu hadis yang shahih menjadi dha’if dan sebaliknya, jika menemukan hadis yang tampaknya bertentangan. Berikut perkataannya : “ ”Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama’ di berbagai disiplin ilmu. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus sebagai imam yang memadukan antara hadis dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam” . Selain itu di antara pentingnya memahami ilmu ini adalah : 
1.    Menolak syubhat terhadap hadis Nabi SAW., dan menetapkan terjaganya Nabi SAW. serta terpeliharanya syari’at Islam, karena syari’at Islam selalu bermanfaat untuk setiap waktu dan tempat.
2.    Menjelaskan tidak adanya pertentangan pada dalil yang shahih, tetapi yang demikian itu menunjukkan kesempurnaan.
3.    Menyingkap sebagian kesalahan periwayatan serta menjelaskan adanya syadz pada riwayat tersebut.
4.    Menetapkan bahwa kritik terhadap nash (matan hadis) muncul lebih awal sebelum kritik sanad .
Ulama hadis mengemukakan, tidak selamanya hadis yang bertentangan dianggap suatu yang mukhtalif. Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap hadis yang termasuk dalam kategori mukhtalif maka ulama hadis memberikan beberapa syarat:
1.    Hadis tersebut sama-sama berkualitas maqbu͂l, lawan dari mardu͂d. Karena hadis mardud tidak termasuk dalam kategori mukhtalif al-hadis.
2.    Membicarakan objek yang sama, satu hadis menyatakan larangan dan satu hadis menyatakan kebolehan dalam objek yang sama
3.    Pertentangan tersebut hanya bersifat zha͂hir, sehingga memungkinkan untuk diselesaikan makna muktalif tersebut.
D.    Sebab-Sebab Mukhtalif Hadist
Ketidaksesuaian sebuah hadist bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya  :
1.    Faktor Internal Hadits (al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
2.    Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
3.    Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
4.    Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang. Diantara aliran atau kelompok yang mendongkrak berkembangnya ilmu ini adalah mu’tazilah, murjia’h dan qodariyah .
Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi dalam sebuah hadist adalah pertentangan dalam arti dhahiri, sedangkan secara subtantive, sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling mendukung sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Dapat dikatakan dalam menyelesaikan pertentangan hadist, metode pertama yang ditempuh oleh para ulama fiqih dan ulama hadist adalah Jam’u ( al-taufiq, al-talfiq atau al ta’lif ) , barulah setelah itu menempuh langkah lain secara bertahap seperti al-Tarjih, dan  al-Nasakh, yang akan diuraikan dalam pembahasan dibawah ini satu persatu .
1.    Al-Jam’u bermakna mengumpulkan atau menggabungkan. Kata ini semakna dengan al- Talfiq dan al- Ta’lif yang kesemuanya bermakna mengkompromikan. Al-Jam’u  dalam pengertian yang diberikan ulama ushul adalah mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi, atau lebih mengarah kepada usaha mencari makna yang lain dibalik pertentangan tersebut .
Misal : Hadist 1 = Dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.”
Hadist 2 : dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).”
Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala).
2.    Tarjih adalah : Menampakkan suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Maka apabila telah nyata kerajihan salah satunya, hendaklah kita mengamalkan yang rajih tersebut. Tarjih dalam ta’rif ulama ushul adalah menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan .
Misal : Hadist 1 : Dari Ibnu Abbas r.a. : “Bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah binti Haris, sewaktu beliu sedang menjalankan ihram”.
Hadist 2 : Abi Rafi’ yang mengatakan: “Bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah binti Haris, pada waktu beliau sudah tahallul.
Hadis Abi Rafi’ ini adalah lebih rajih dari pada hadis Ibnu Abbas r.a., karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah SAW dan Maimunah di saat itu, maka tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu dari pada Ibnu Abbas r.a. yang tidak ikurt pergi bersama Rasulullah SAW .
3.    Naskh adalah menghapus hukum syara’ yang lalu, dengan kata lain  sesuatu yang telah di Nasakhkan berarti tidak ada lagi tuntutan hukum kepada si Mukallaf . Proses nasikh-mansukh dalam hadis hanya terjadi ketika Nabi Muhammad saw masih hidup. Sebab pada masa Nabi masih hidup, proses penetapan atau pembentukan syari’at sedang berlangsung pada masa itu, sehingga ada hadis yang temanya sama akan tetapi hukumnya berbeda, dan mungkin hadis yang terakhir datang setelah turunnya ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah di masyarakat. Seperti hadist tentang ziarah kubur.
Adapun contoh diantara kitab-kitab Mukhtaliful hadis yaitu :
a.    Ta’wil Mukhtalif al-Hadis oleh al-Hafidh Abdullah bin Muslim al-Dainury. Kitab tersebut merupakan jawaban bagi para penentang hadis, dan penuduh para ahli hadis yang sengaja mengumpulkan hadis-hadis yang saling berlawanan dan meriwayatkan hadis-hadis musykil. Dalam kitab tersebut tampak lahirnya lahirnya belawanan tapi pada hakikatnya tidak demikian .
b.    Musykil al-Atsar oleh Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Thahawy.
c.    Musykil al-Hadis wa Bayanuh oleh Abu Bakar Muhammad al-Asbihany.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis lain namun secara substansive saling mendukung. Urgensinya menjaga syariat, menyingkap kesalahan periwayatan dan sebagainya. Ada beberapa penyebab munculnya mukhtalif hadist karena internal, eksternal, metodologi dan ideologi. Berikut cara menyelesaikan nya, ada Al-jam’, Tarjih, Naskh dan lain-lain. Ini  sedikit contoh dari kitabnya yaitu Ta’wil Mukhtalif al-Hadis dan lainnya.
B.    Saran
Hendaknya para pembaca lebih banyak lagi membaca buku-buku yang berkaitan dengan tema mukhtalif al-hadist supaya makin faham dan jelas, mengingat keterbatasan dan terlalu ringkasnya pemakalah dalam menyajikan. Kritik dan saran sangat diharapkan agar kedepannya kami semakin membaik dan semangat lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Muḥyi. 1995. Al-Taqrib wa al-Taysir li Ma‘rifah Sunan al-Basyir al-Naẓir. Beirut: Dar al-Kitab al –Arabi
Al-Hammad, Nafiz Husain. 1993. Mukhtalif Hadits bain al-Fuqaha wa al-Muhadditsin. Beirut: Dar al-Wafa’.
Al-Qadhah, Syarif. 2012.‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits Ushuluh wa Qawa’iduh. Beirut: Majallah Dirasat al-Jami’ah Arnidiyah.
Ash-Shiddiqie, Muhammad hasbi. 2001. Pengantar hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Bay, Kaizal. 2011.“ Metode Penyelesaian Hadist Mukhtalif Menurut As-Syafi’I”, Jurnal Ushuludin, Vol. 17. No. 2
Imam Al-syafi’i. 1985. Khilafal Hadis. Beirut: Muassasah al- Kutub Al Tsaqafiyya.
Itr Nuruddin. 1994. Ulûm al-Hadîts, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts. cet. 1. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis (Jakarta : Erlangga)
Khayr, Muḥammad Abu al-Layts. 2005.‘Ulum al-Ḥadits: Aṣluha wa Mu‘aṣiruha. Kuala Lumpur: IIU Press.
Misbah, Muhammad. 2016.“ Hadist Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fiqih”, Riwayah: Jurnal Studi Hadist, Vol. 1. No. 2
Mustaqim, Abdul. 2008. Ilmu Ma’ani Hadist. Yogyakarta: Idea Press.
Safri, Edi. 1999. Al-Imam As-Syafi’I Metode Menyelesaikan Hadist Mukhtalif. Padang: IAIB Press.
Suryadilaga, Alfatih. 2010. Ulumul Hadist. Yogyakarta: teras.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1997. Dasar-dasar pembinaan hukum Islam. Bandung : Al-Maarif.
 Yoesqi, Moh. Isom 2006. Inklusivitas hadist Nabi Muhammad Saw menurut Ibnu Tamiyah. Jakarta: Pustaka Mapan.

Post a Comment

0 Comments